Kewenangan
Pemerintahan dalam Keadaan Darurat
Menjamin agar negara
selalu berada dalam keadaan normal dan damai adalah salah satu tugas pokok
pemerintahan negara yang salah satu tujuan pembentukannya adalah untuk
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
sebagaimana termaktub dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945. Akan tetapi,
dalam keadaan normal itu, seperti ditentukan dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945,
proses pemerintahan dibatasi hanya dapat diselenggarakan menurut cara-cara yang
ditentukan dalam undang-undang dasar. Pentingnya tugas untuk memberikan
perlindungan terhadap keamanan negara dan keselamatan bersama seperti tersebut
di atas juga berlaku di semua negara. Bradley dan Ewing menyatakan, “The maintenance of the security of the state
is a primary duty of the government.”
Akan tetapi, menurut kedua penulis ini juga, “In performing this duty, it is important that governments do so without trespassing on individual liberty any more than is reasonable necessary.”
Akan tetapi, menurut kedua penulis ini juga, “In performing this duty, it is important that governments do so without trespassing on individual liberty any more than is reasonable necessary.”
Karena itu, Pasal 4
ayat (1) UUD 1945 tersebut di atas menentukan, “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut
undang-undang dasar.”
Prinsip inilah yang biasa dinamakan prinsip “constitutional government”, yaitu
pemerintahan berdasarkan undang-undang dasar.
Jika keadaan normal
itu tidak dapat dipertahankan karena berbagai sebab, barulah dapat dilakukan
berbagai langkah yang tidak biasa atau tidak normal berdasarkan ketentuan
peraturan yang juga tidak biasa atau tidak normal. Dalam UUD 1945, terdapat dua
pasal yang berkaitan dengan pengaturan keadaan yang bersifat darurat atau
keadaan tidak normal itu, yaitu Pasal 12 dan Pasal 22. Pasal 12 berbunyi, “Presiden menyatakan keadaan bahaya.
Syarat-syarat dan akibat keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang.”
Sedangkan Pasal 22
berisi tiga ayat, yaitu:
(1) Dalam
hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan
pemerintah sebagai pengganti undang-undang;
(2) Peraturan
pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam
persidangan yang berikut;
(3) Jika
tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
Dapat dikatakan
bahwa Pasal 12 UUD 1945 mengatur tentang keadaan bahaya yang mengakibatkan
timbulnya keadaan darurat (emergency
condition). Sedangkan Pasal 22 mengatur kewenangan Presiden untuk
menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang sebagai bentuk dari “emergency legislation” menurut UUD 1945.
Menurut Durga Das
Basu, “A state of emergency exists under
the Constitution when the President makes a ‘Proclamation of Emergency’, … But no such Proclamation can be made by the
President unless the Union Ministers of Cabinet rank headed by the Prime
Minister, recommend to him, in writing, that such a Proclamation should be
issued.” [Article 352 (3)].
Proklamasi keadaan
darurat itu sendiri haruslah diajukan kepada kedua kamar parlemen dalam waktu
satu bulan sejak proklamasi atau pemberlakuan keadaan darurat itu ditetapkan.
Pemberlakuan keadaan darurat itu harus dihentikan kecuali jika dalam waktu satu
bulan itu, kedua kamar parlemen menyetujui pemberlakuan keadaan darurat itu.
Hal ini sangat berbeda dari pengaturan tentang Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu) dalam UUD 1945. Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 menyatakan
bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) itu harus mendapat
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan berikut. Dengan rumusan
demikian, maka Perpu itu masih dianggap sah berlaku selama masa persidangan
yang berjalan ditambah masa persidangan yang akan datang belum berakhir, maka
selama itu pula Perpu yang ditetapkan oleh Presiden masih dapat dijadikan
rujukan untuk bertindak dalam keadaan kegentingan yang dianggap memaksa oleh
Pemerintah. Artinya, masa berlaku suatu Perpu dapat saja selama satu tahun.
S.E. Finer, dan kawan-kawan dalam Comparing Constitutions, membedakan keadaan darurat itu dalam tiga kategori, yaitu:
S.E. Finer, dan kawan-kawan dalam Comparing Constitutions, membedakan keadaan darurat itu dalam tiga kategori, yaitu:
a. Keadaan darurat karena perang (State of War, atau State of Defence), yaitu keadaan perang bersenjata;
b. Keadaan darurat karena ketegangan (State of Tension), tremasuk dalam
pengertian bencana alam atau pun ketegangan sosial karena peristiwa-peristiwa
politik;
c. Keadaan darurat karena kepentingan internal
pemerintahan yang memaksa (Innere
Notstand). Meskipun tidak terdapat keadaan darurat, tetapi ada kepentingan
internal pemerintahan yang mesti dilakukan tetapi instrumen undang-undang yang
ada tidak memungkinkan untuk itu, maka dapat ditempuh dengan penerbitan suatu
Perpu sebagai landasan hukum bagi tindakan yang bersifat menyimpang dari
ketentuan yang ada.
Cakupan pengertian
keadaan darurat yang terdapat dalam ketiga macam keadaan tersebut, pada
dasarnya—jika diperinci—dapat meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. Keadaan perang di dalam negeri, karena external aggression;
b. Keadaan perang di luar negeri atau front di luar negeri;
c. Keadaan pemberontakan bersenjata oleh gerakan
separatis di dalam negeri;
d. Keadaan pemberontakan bersenjata karena
perebutan kekuasaan;
e. Keadaan bencana alam yang menimbulkan
kepanikan, ketegangan sosial, dan yang menyebabkan mesin konstitusional
pemerintahan tidak dapat berfungsi sebagaimana seharusnya;
f. Keadaan sosial yang rusuh atau kerusuhan
sosial (social unrest) yang luas dan
menyebabkan mesin konstitusional pemerintahan tidak berfungsi sebagaimana
mestinya;
g. Keadaan keuangan dan kondisi administrasi yang
tidak mendukung, sehingga mesin legal dan konstitusional administrasi
pemerintahan tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya, sementara kebutuhan
untuk bertindak sudah sangat genting dan mendesak.
h. Keadaan-keadaan lain dimana fungsi-fungsi
kekuasaan konstitusional yang sah tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya,
kecuali dengan melanggar undang-undang tertentu, sementara keharusan untuk
mengubah undang-undang dimaksud belum dapat dipenuhi dalam waktu yang tersedia.
Keadaan-keadaan
darurat dimaksud dapat mencakup wilayah hukum yang berbeda-beda, mulai dari
wilayah nasional sampai ke wilayah lokal. Karena itu, dari sudut pandang
wilayah berlakunya keadaan darurat itu, kita dapat membedakan antara:
1. Darurat Nasional yang berlaku untuk seluruh
wilayah negara Republik Indonesia;
2. Darurat Daerah Regional yang berlaku untuk
seluruh wilayah antar provinsi tertentu;
3. Darurat Daerah Provinsi yang berlaku untuk
seluruh wilayah provinsi tertentu;
4. Darurat Lokal yang berlaku untuk wilayah-wilayah
tertentu saja dalam wilayah kabupaten atau kota.
Adapun mengenai
syarat-syarat yang perlu diatur mengenai keadaan darurat itu, dapat kita
bedakan antara syarat-syarat materiil dan syarat-syarat formil. Syarat materil
adalah syarat yang menyangkut alasan substantif diberlakukannya keadaan darurat
yang bersangkutan. Misalnya, timbulnya perang dengan negara lain, terjadinya
bencana alam seperti Tsunami di Aceh atau gempa bumi di Yogyakarta yang banyak
menelan korban jiwa dan harta benda serta fasilitas umum infrastruktur kota dan
desa. Sedangkan syarat-syarat yang berkenan dengan prosedur pembentukannya
sebagai syarat formil, dapat dikaitkan dengan hal-hal sebagai berikut:
a. Bentuk baju hukum penetapan dan pengaturan
mengenai keadaan darurat itu ditentukan dalam bentuk Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perpu) sebagaimana dimaksud oleh UUD 1945. Karena itu,
yang berwenang menetapkan keadaan darurat itu hanya Presiden, bukan pejabat
yang lain;
b. Perpu tersebut disahkan dan ditandatangani
oleh Presiden dan diundangkan dalam Lembaran Negara sebagaimana mestinya;
c. Perpu tersebut menentukan dengan jelas
ketentuan undang-undang apa saja yang dikesampingkan oleh berlakunya Perpu
tersebut;
d. Perpu dimaksud juga menentukan dengan jelas
wilayah hukum berlakunya dalam wilayah Republik Indonesia. Misalnya apakah
Perpu itu berlaku untuk seluruh wilayah nasional atau hanya berlaku di daerah
tertentu saja, seperti hanya di provinsi tertentu atau di kabupaten tertentu;
e. Perpu tersebut menentukan dengan pasti lama masa
berlakunya atau batas waktu berlakunya Perpu tersebut. Jika pembatasan semacam
itu tidak ditegaskan, berarti Perpu tersebut hanya berlaku selama masa
persidangan DPR sampai dengan dibukanya kembali masa persidangan berikutnya.
Ketentuan mengenai
keadaan darurat ini rawan disalahgunakan oleh penguasa. Oleh karena itu, agar
keadaan darurat tersebut tidak ditafsirkan secara sewenang-wenang oleh kepala
negara, perlu ditentukan adanya syarat-syarat yang ketat.
Menurut van
Dullemen, syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk itu, apabila disarikan
meliputi empat hal, yaitu:
i. Harus
nyata bahwa kepentingan negara sebagai kepentingan yang tertinggi (de hoogste belang) sedang berada dalam
pertaruhan dalam arti bahwa hidup matinya negara itu bergantung kepada tindakan
yang bersangkutan;
ii. Bahwa
tindakan yang diperlukan itu merupakan jalan terakhir, dan tidak tersedia
alternatif lain yang mencukupi untuk mengatasi keadaan yang ditakutkan akan
membahayakan kepentingan negara itu;
iii. Tindakan
tersebut dimaksudkan untuk waktu yang terbatas atau bersifat sementara, dan;
iv. Bahwa
waktu tindakan itu diambil, DPR terbukti memang tidak dapat mengadakan sidang
atau persidangan, meskipun sidang yang bersifat darurat sekalipun. Jika salah
satu dari keempat syarat tersebut tidak terpenuhi, maka keadaan darurat yang
ditetapkan dan produk hukum (emergency
legislation) yang ditetapkan atas dasar keadaan darurat dimaksud tidak sah
dan tidak dapat diakui keabsahannya menurut hukum.
Namun dalam
praktiknya, persyaratan yang diuraikan oleh van Dullemen ini dapat dikatakan
sangat ketat. Karena itu, keadaan darurat itu sendiri harus dibedakan ke dalam
beberapa kategori seperti diuraikan di atas. Bentuk peraturan yang ditetapkan
untuk menyelenggarakan kegiatan negara dan pemerintahan dalam keadaan darurat
itu dalam bahasa Inggrisnya disebut martial
law atau emergency legislation.
Dipandang dari segi isinya, peraturan demikian sebenarnya merupakan legislative act atau undang-undang,
tetapi karena keadaan darurat tidak memungkinkan untuk membahasnya bersama-sama
dengan parlemen, maka kepala pemerintahan eksekutif menetapkannya secara
sepihak tanpa didahului oleh persetujuan parlemen, yaitu dalam bentuk peraturan
khusus yang disebut martial law, emergency law, atau emergency
legislation.
Penangggung
Jawab Keadaan Darurat
Pada pokoknya,
kewenangan untuk menanggulangi, mengatasi, dan mengelola keadaan darurat
terletak di tangan Kepala Negara. Di negara-negara yang menganut sistem
pemerintahan presidensil, kewenangan tersebut bera di tangan Presiden,
sedangkan di kalangan negara-negara yang menganut sistem parlementer atau
pemerintahan kabinet, kewenangan tersebut berada di tangan Raja, Ratu, Kaisar,
atau Presiden. Dengan demikian, tanggung jawab keadaan darurat nasional seperti
di Indonesia berada di pundak Presiden. Di Indonesia yang susunan organisasi
negaranya adalah negara kesatuan, Gubernur dan Bupati/Walikota adalah kepala
pemerintahan daerah, dan bukan kepala negara bagian.
Oleh karena itu,
para Gubernur, Bupati, dan Walikota di Indonesia tidak dapat menyandang
kewenangan untuk menetapkan keadaan darurat dan mengeluarkan peraturan untuk
mengatasi keadaan darurat itu. Yang berwenang untuk itu hanya kepala negara, yaitu
Presiden. Gubernur, Bupati, dan Walikota
hanya bertindak sebagai penanggung jawab operasional di lapangan, atau sebagai
aparat pelaksana keadaan darurat di daerah masing-masing. Untuk berlaku sah
sebagai keadaan darurat, Presiden harus mendeklarasikan atau
memproklamasikannya terlebih dulu secara resmi, dan kemudian menetapkan
peraturan yang bersifat khusus sehingga selama keadaan darurat berlangsung,
fungsi-fungsi pemerintahan dapat diselenggarakan dengan cara-cara yang menyimpang
dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam keadaan normal.
- Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata
Negara Indonesia Pasca Reformasi -