Total Tayangan Halaman

Sabtu, 11 Oktober 2014

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)

Kewenangan Pemerintahan dalam Keadaan Darurat

Menjamin agar negara selalu berada dalam keadaan normal dan damai adalah salah satu tugas pokok pemerintahan negara yang salah satu tujuan pembentukannya adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia sebagaimana termaktub dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945. Akan tetapi, dalam keadaan normal itu, seperti ditentukan dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945, proses pemerintahan dibatasi hanya dapat diselenggarakan menurut cara-cara yang ditentukan dalam undang-undang dasar. Pentingnya tugas untuk memberikan perlindungan terhadap keamanan negara dan keselamatan bersama seperti tersebut di atas juga berlaku di semua negara. Bradley dan Ewing menyatakan, “The maintenance of the security of the state is a primary duty of the government.”
Akan tetapi, menurut kedua penulis ini juga, “In performing this duty, it is important that governments do so without trespassing on individual liberty any more than is reasonable necessary.
Karena itu, Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 tersebut di atas menentukan, “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut undang-undang dasar.”
Prinsip inilah yang biasa dinamakan prinsip “constitutional government”, yaitu pemerintahan berdasarkan undang-undang dasar.
Jika keadaan normal itu tidak dapat dipertahankan karena berbagai sebab, barulah dapat dilakukan berbagai langkah yang tidak biasa atau tidak normal berdasarkan ketentuan peraturan yang juga tidak biasa atau tidak normal. Dalam UUD 1945, terdapat dua pasal yang berkaitan dengan pengaturan keadaan yang bersifat darurat atau keadaan tidak normal itu, yaitu Pasal 12 dan Pasal 22. Pasal 12 berbunyi, “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibat keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang.”
Sedangkan Pasal 22 berisi tiga ayat, yaitu:
(1)   Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang;
(2)   Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut;
(3)   Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
Dapat dikatakan bahwa Pasal 12 UUD 1945 mengatur tentang keadaan bahaya yang mengakibatkan timbulnya keadaan darurat (emergency condition). Sedangkan Pasal 22 mengatur kewenangan Presiden untuk menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang sebagai bentuk dari “emergency legislation” menurut UUD 1945.
Menurut Durga Das Basu, “A state of emergency exists under the Constitution when the President makes a ‘Proclamation of Emergency’, … But no such Proclamation can be made by the President unless the Union Ministers of Cabinet rank headed by the Prime Minister, recommend to him, in writing, that such a Proclamation should be issued.” [Article 352 (3)].
Proklamasi keadaan darurat itu sendiri haruslah diajukan kepada kedua kamar parlemen dalam waktu satu bulan sejak proklamasi atau pemberlakuan keadaan darurat itu ditetapkan. Pemberlakuan keadaan darurat itu harus dihentikan kecuali jika dalam waktu satu bulan itu, kedua kamar parlemen menyetujui pemberlakuan keadaan darurat itu. Hal ini sangat berbeda dari pengaturan tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) dalam UUD 1945. Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan berikut. Dengan rumusan demikian, maka Perpu itu masih dianggap sah berlaku selama masa persidangan yang berjalan ditambah masa persidangan yang akan datang belum berakhir, maka selama itu pula Perpu yang ditetapkan oleh Presiden masih dapat dijadikan rujukan untuk bertindak dalam keadaan kegentingan yang dianggap memaksa oleh Pemerintah. Artinya, masa berlaku suatu Perpu dapat saja selama satu tahun.
S.E. Finer, dan kawan-kawan dalam Comparing Constitutions, membedakan keadaan darurat itu dalam tiga kategori, yaitu:
a.       Keadaan darurat karena perang (State of War, atau State of Defence), yaitu keadaan perang bersenjata;
b.      Keadaan darurat karena ketegangan (State of Tension), tremasuk dalam pengertian bencana alam atau pun ketegangan sosial karena peristiwa-peristiwa politik;
c.       Keadaan darurat karena kepentingan internal pemerintahan yang memaksa (Innere Notstand). Meskipun tidak terdapat keadaan darurat, tetapi ada kepentingan internal pemerintahan yang mesti dilakukan tetapi instrumen undang-undang yang ada tidak memungkinkan untuk itu, maka dapat ditempuh dengan penerbitan suatu Perpu sebagai landasan hukum bagi tindakan yang bersifat menyimpang dari ketentuan yang ada.
Cakupan pengertian keadaan darurat yang terdapat dalam ketiga macam keadaan tersebut, pada dasarnya—jika diperinci—dapat meliputi hal-hal sebagai berikut:
a.       Keadaan perang di dalam negeri, karena external aggression;
b.      Keadaan perang di luar negeri atau front di luar negeri;
c.       Keadaan pemberontakan bersenjata oleh gerakan separatis di dalam negeri;
d.      Keadaan pemberontakan bersenjata karena perebutan kekuasaan;
e.       Keadaan bencana alam yang menimbulkan kepanikan, ketegangan sosial, dan yang menyebabkan mesin konstitusional pemerintahan tidak dapat berfungsi sebagaimana seharusnya;
f.       Keadaan sosial yang rusuh atau kerusuhan sosial (social unrest) yang luas dan menyebabkan mesin konstitusional pemerintahan tidak berfungsi sebagaimana mestinya;
g.      Keadaan keuangan dan kondisi administrasi yang tidak mendukung, sehingga mesin legal dan konstitusional administrasi pemerintahan tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya, sementara kebutuhan untuk bertindak sudah sangat genting dan mendesak.
h.      Keadaan-keadaan lain dimana fungsi-fungsi kekuasaan konstitusional yang sah tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya, kecuali dengan melanggar undang-undang tertentu, sementara keharusan untuk mengubah undang-undang dimaksud belum dapat dipenuhi dalam waktu yang tersedia.
Keadaan-keadaan darurat dimaksud dapat mencakup wilayah hukum yang berbeda-beda, mulai dari wilayah nasional sampai ke wilayah lokal. Karena itu, dari sudut pandang wilayah berlakunya keadaan darurat itu, kita dapat membedakan antara:
1.      Darurat Nasional yang berlaku untuk seluruh wilayah negara Republik Indonesia;
2.      Darurat Daerah Regional yang berlaku untuk seluruh wilayah antar provinsi tertentu;
3.      Darurat Daerah Provinsi yang berlaku untuk seluruh wilayah provinsi tertentu;
4.      Darurat Lokal yang berlaku untuk wilayah-wilayah tertentu saja dalam wilayah kabupaten atau kota.
Adapun mengenai syarat-syarat yang perlu diatur mengenai keadaan darurat itu, dapat kita bedakan antara syarat-syarat materiil dan syarat-syarat formil. Syarat materil adalah syarat yang menyangkut alasan substantif diberlakukannya keadaan darurat yang bersangkutan. Misalnya, timbulnya perang dengan negara lain, terjadinya bencana alam seperti Tsunami di Aceh atau gempa bumi di Yogyakarta yang banyak menelan korban jiwa dan harta benda serta fasilitas umum infrastruktur kota dan desa. Sedangkan syarat-syarat yang berkenan dengan prosedur pembentukannya sebagai syarat formil, dapat dikaitkan dengan hal-hal sebagai berikut:
a.       Bentuk baju hukum penetapan dan pengaturan mengenai keadaan darurat itu ditentukan dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) sebagaimana dimaksud oleh UUD 1945. Karena itu, yang berwenang menetapkan keadaan darurat itu hanya Presiden, bukan pejabat yang lain;
b.      Perpu tersebut disahkan dan ditandatangani oleh Presiden dan diundangkan dalam Lembaran Negara sebagaimana mestinya;
c.       Perpu tersebut menentukan dengan jelas ketentuan undang-undang apa saja yang dikesampingkan oleh berlakunya Perpu tersebut;
d.      Perpu dimaksud juga menentukan dengan jelas wilayah hukum berlakunya dalam wilayah Republik Indonesia. Misalnya apakah Perpu itu berlaku untuk seluruh wilayah nasional atau hanya berlaku di daerah tertentu saja, seperti hanya di provinsi tertentu atau di kabupaten tertentu;
e.       Perpu tersebut menentukan dengan pasti lama masa berlakunya atau batas waktu berlakunya Perpu tersebut. Jika pembatasan semacam itu tidak ditegaskan, berarti Perpu tersebut hanya berlaku selama masa persidangan DPR sampai dengan dibukanya kembali masa persidangan berikutnya.
Ketentuan mengenai keadaan darurat ini rawan disalahgunakan oleh penguasa. Oleh karena itu, agar keadaan darurat tersebut tidak ditafsirkan secara sewenang-wenang oleh kepala negara, perlu ditentukan adanya syarat-syarat yang ketat.
Menurut van Dullemen, syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk itu, apabila disarikan meliputi empat hal, yaitu:
                    i. Harus nyata bahwa kepentingan negara sebagai kepentingan yang tertinggi (de hoogste belang) sedang berada dalam pertaruhan dalam arti bahwa hidup matinya negara itu bergantung kepada tindakan yang bersangkutan;
                     ii. Bahwa tindakan yang diperlukan itu merupakan jalan terakhir, dan tidak tersedia alternatif lain yang mencukupi untuk mengatasi keadaan yang ditakutkan akan membahayakan kepentingan negara itu;
                    iii.  Tindakan tersebut dimaksudkan untuk waktu yang terbatas atau bersifat sementara, dan;
                  iv.   Bahwa waktu tindakan itu diambil, DPR terbukti memang tidak dapat mengadakan sidang atau persidangan, meskipun sidang yang bersifat darurat sekalipun. Jika salah satu dari keempat syarat tersebut tidak terpenuhi, maka keadaan darurat yang ditetapkan dan produk hukum (emergency legislation) yang ditetapkan atas dasar keadaan darurat dimaksud tidak sah dan tidak dapat diakui keabsahannya menurut hukum.
Namun dalam praktiknya, persyaratan yang diuraikan oleh van Dullemen ini dapat dikatakan sangat ketat. Karena itu, keadaan darurat itu sendiri harus dibedakan ke dalam beberapa kategori seperti diuraikan di atas. Bentuk peraturan yang ditetapkan untuk menyelenggarakan kegiatan negara dan pemerintahan dalam keadaan darurat itu dalam bahasa Inggrisnya disebut martial law atau emergency legislation. Dipandang dari segi isinya, peraturan demikian sebenarnya merupakan legislative act atau undang-undang, tetapi karena keadaan darurat tidak memungkinkan untuk membahasnya bersama-sama dengan parlemen, maka kepala pemerintahan eksekutif menetapkannya secara sepihak tanpa didahului oleh persetujuan parlemen, yaitu dalam bentuk peraturan khusus yang disebut  martial law, emergency law,  atau emergency legislation.


Penangggung Jawab Keadaan Darurat

Pada pokoknya, kewenangan untuk menanggulangi, mengatasi, dan mengelola keadaan darurat terletak di tangan Kepala Negara. Di negara-negara yang menganut sistem pemerintahan presidensil, kewenangan tersebut bera di tangan Presiden, sedangkan di kalangan negara-negara yang menganut sistem parlementer atau pemerintahan kabinet, kewenangan tersebut berada di tangan Raja, Ratu, Kaisar, atau Presiden. Dengan demikian, tanggung jawab keadaan darurat nasional seperti di Indonesia berada di pundak Presiden. Di Indonesia yang susunan organisasi negaranya adalah negara kesatuan, Gubernur dan Bupati/Walikota adalah kepala pemerintahan daerah, dan bukan kepala negara bagian.

Oleh karena itu, para Gubernur, Bupati, dan Walikota di Indonesia tidak dapat menyandang kewenangan untuk menetapkan keadaan darurat dan mengeluarkan peraturan untuk mengatasi keadaan darurat itu. Yang berwenang untuk itu hanya kepala negara, yaitu Presiden.  Gubernur, Bupati, dan Walikota hanya bertindak sebagai penanggung jawab operasional di lapangan, atau sebagai aparat pelaksana keadaan darurat di daerah masing-masing. Untuk berlaku sah sebagai keadaan darurat, Presiden harus mendeklarasikan atau memproklamasikannya terlebih dulu secara resmi, dan kemudian menetapkan peraturan yang bersifat khusus sehingga selama keadaan darurat berlangsung, fungsi-fungsi pemerintahan dapat diselenggarakan dengan cara-cara yang menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam keadaan normal.

- Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi -