Total Tayangan Halaman

Jumat, 10 Februari 2012

SISTEM PERADILAN PIDANA DAN PROSES PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI

 1.    Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
Indonesia menganut sistem peradilan pidana terpadu atau terintegrasi. Yang dimaksud dengan sistem peradilan pidana terpadu ialah sistem peradilan yang tiap masing-masing subsistem saling berkesinambungan dan terkait satu sama lain di dalam tugas serta kewenangannya dalam proses peradilan pidana di Indonesia.
Sistem peradilan pidana di Indonesia identik dengan sistem penegakan hukum pidana yang masuk ke dalam sistem kekuasaan dan kewenangan menegakan hukum. Sistem peradilan pidana berada di dalam kekuasaan kehakiman yang implementasi nya terwujud dalam 4 (empat) sub sistem, adalah:
1.      Kekuasaan penyidikan oleh lembaga penyidik
2.      Kekuasaan penuntutan oleh lembaga penuntut umum
3.      Kekuasaan mengadili/atau menjatuhkan putusan oleh badan peradilan
4.      Kekuasaan pelaksanaan putusan hakim oleh aparat pelaksana eksekusi, adalah jaksa penuntut umum.

Berikut adalah Sistem Peradilan Pidana Terpadu atau Terintegrasi menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu:
Tabel 1
Sistem Peradilan Pidana Indonesia

Kepolisian →→→ Kejaksaan →→→ Pengadilan →→→ Lembaga Pemasyarakatan
            ↑       ↑                                                                                                                    ↑
↑       ↑  ←   ←    ←   ←     →    →   →   →   → Advokad  ←  ← ← ←→ → →↑
            ↑                                                                                     ↑
Masyarakat (Laporan, Aduan) ←←←→→→→ ↑


Keterangan:
-       Kepolisian sebagai penyelidik dan penyidik pada perkara yang disangkakan sebagai tindak atau perbuatan pidana. Wewenang dan tugasnya diatur di pasal 4-49 KUHAP.
-       Kejaksaan sebagai penuntut umum menerima berkas acara pemeriksaan, bukti-bukti dan tersangka. Pihak kejaksaan inilah yang akan membuat surat dakwaan terhadap tersangka sehingga status daripada tersangka berubah menjadi terdakwa dengan istilah tahanan kejaksaan bukan lagi tahanan kepolisian.(Keterangan: jika terdakwa sebelumnya ditahan pada tingkat penyidikan.) Kewenangan kejaksaan diatur di dalam pasal 4-49 KUHAP.
-       Setelah berkas pemeriksaan dan telah dibuatnya surat dakwaan terhadap terdakwa tersebut beserta kemudian dilimpahkan ke pengadilan yang berkompeten mengadili. (Keterangan dimulai dari pengadilan tingkat pertama atau Pengadilan Negeri.)
-       Setelah mendapat putusan yang in kracht (tetap dan pasti) yang tiada upaya hukum yang diajukan oleh pihak yang berperkara, jika putusan yang dijatuhkan adalah putusan pemidanaan maka Jaksa Penuntut Umum sesuai dengan pasal 270 KUHAP akan melakukan eksekusi terhadap putusan itu dengan memasukan terpidana ke dalam Lembaga Pemasyarakatan.
-       Setelah masa hukuman tahanan selesai, maka terpidana kembali ke masyarakat.
-       Pada saat mulainya sistem peradilan pidana, baik tersangka/terdakwa maupun korban dapat menggunakan penasehat hukum atau advokat. Ketentuan tersangka/terdakwa dalam menggunakan penasehat hukum diatur dalam pasal 69-74 KUHAP.

2.        Proses Penanganan Tindak Pidana Korupsi

Badan peradilan terdiri dari 4 (empat) lingkungan peradilan yaitu peradilan umum, peradilan militer, peradilan agama dan peradilan tata usaha negara. Tindak pidana korupsi diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) yang masuk ke dalam lingkungan peradilan umum. Tindak pidana korupsi merupakan perbuatan atau tindak pidana khusus yang ketentuannya diatur di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ketentuannya mula-mula diatur di dalam Undang-Undang No 24 Prp. Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana karena tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat pada saat itu kemudian diganti dengan Undang-Undang No.3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan kemudian pada tahun 1999 ketentuan tersebut diganti dengan Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan pada akhirnya diperbaharui dengan dilahirkannya Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Proses penanganan dalam tindak pidana korupsi sama dengan ketentuan hukum acara yang berlaku dalam KUHAP. Penyidik tetap menjadi kewenangan Kepolisian dan penuntut umum tetap menjadi kewenangan Kejaksaan, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang mengenai pemberantasan korupsi, ialah Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001.
Pasal 27 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 mengatur ketentuan bahwa untuk tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka dapat dibentuk tim gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung. Selain mengkoordinasikan, Jaksa Agung juga mengendalikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan umum dan peradilan militer.
Di bidang pidana, kejaksaan selain sebagai penuntut umum dan pelaksana eksekusi putusan hakim juga dapat bertindak sebagai penyidik dalam tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang,contoh pasal 26 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 mengatur bahwa jaksa dapat mengendalikan penyidikan dalam hal ini, jaksa dalam tindak pidana korupsi dapat  melakukan penyidikan.
Hal ini bertentangan dengan ketentuan acaranya, jaksa penuntut umum dalam KUHAP hanya sebagai penuntut umum. Pertama kali pertentangan timbul dari pasal 284 ayat (2) KUHAP, bahwa ada pengecualian untuk sementara mengenai “ketentuan khusus”acara pidana. Kemudian dalam pasal 17 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP lebih memperjelas pertentangan wewenang sebagai penyidik dalam tindak pidana khusus terutama tindak pidana korupsi bahwa wewenang menyidik ada di tangan penyidik jaksa dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya.
Adanya pertentangan ini mempengaruhi kinerja Kepolisian dan Kejaksaan dalam memproses tindak pidana korupsi sebelum dibentuknya maupun setelah KPK terbentuk.
Proses penanganan tindak pidana korupsi oleh Kepolisian dan Kejaksaan sebelum KPK dibentuk:
-           Penyelidikan dilakukan oleh pihak Kepolisian, sedangkan penyidikan dilakukan bersama-sama oleh pihak Kepolisian dan Kejaksaan, dan untuk selanjutnya akan dilimpahkan kepada Pengadilan.
-          Penanganan tindak pidana korupsi total diberikan kewenangannya kepada Kepolisian dan Kejaksaan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.
-       Penanganan tindak pidana korupsi oleh pihak Kepolisian dan Kejaksaan pada periode sebelum KPK terbentuk belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. Karena itulah, KPK perlu dibentuk dan pada tahun 2002 dengan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 KPK terbentuk. KPK bersifat independen namun ad hoc, artinya KPK akan dibubarkan disaat Kepolisian dan Kejaksaan dapat berfungsi efektif, baik dan efisien dalam memberantas korupsi.

Penanganan tindak pidana korupsi oleh  pihak Kepolisian dan Kejaksaan setelah KPK dibentuk:
-       Setelah KPK dibentuk, penanganan perkara korupsi dibagi 2 (dua) kewenangannya. Terdahulu hanya Kepolisian dan Kejaksaan, tapi sekarang KPK memiliki kewenangan untuk menangani tindak pidana korupsi. Namun ada pengklasifikasian jenis tindak pidana korupsi yang bagaimana ditangani pihak KPK.
-       KPK akan menangani tindak pidana korupsi bila menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Sedangkan tindak pidana korupsi  di bawah Rp.1.000.000.000,00 ( satu miliar rupiah) akan ditangani oleh pihak kepolisian.
    


Referensi:
Tambunan Ester, Dody Simanjuntak, Junius Parulian. 2009. Indeks Prestasi Kinerja Kepolisian dan Kejaksaan dalam Menangani Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar