1. Perkara
yang dihentikan penuntutannya demi kepentingan hukum
Pasal 14 huruf h KUHAP menentukan bahwa salah satu wewenang
penuntut umum adalah perbuatan untuk menutup perkara demi kepentingan hukum.
Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP menyebutkan pula perbuatan lain yang dapat
dilakukan oleh penuntut umum, yaitu berupa penghentian penuntutan, sedang dalam
Pasal 46 ayat (1) huruf c KUHAP menentukan pula wewenang lain, yaitu mengesampingkan
perkara demi kepentingan umum.
Perkara yang dihentikan penuntutannya demi kepentingan hukum
adalah perkara yang dihentikan penuntutannya dikarenakan tidak terdapat cukup
bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana (Pasal 40 ayat (2)
huruf a KUHAP).
2. Perkara
yang Dihentikan Penuntutannya demi kepentingan umum
Menurut ketentuan Pasal 8 dari Undang-Undang No. 15 Tahun 1961
tentang ketentuan-ketentuan Pokok-pokok Kejaksaan Republik Indonesia, yang
berwenang mengesampingkan suatu perkara demi kepentingan umum adalah Jaksa
Agung. Wewenang untuk mengesampingkan perkara berdasarkan kepentingan umum
seperti itu dalam ilmu pengetahuan hukum dikenal juga sebagai wewenang untuk
mengesampingkan suatu perkara berdasarkan suatu asas oportunitas (opportunities
beginsel), yakni sebuah asas yang semata-mata terdapat dalam hukum acara
pidana dan tidak terdapat dalam hukum penitensier.
Beberapa pendapat dari beberapa orang penulis Belanda mengenai
lembaga ”mengesampingkan perkara demi kepentingan umum” sebagai perbandingan,
antara lain:
Menurut Franken, wewenang untuk mengesampingkan perkara
berdasarkan asas oportunitas itu meliputi wewenang untuk:
1. Tidak menuntut atau
tidak menjalankan penuntutan
2. Membatasi penuntutan atau penuntutan lebih lanjut
tersebut, yakni terbatas untuk memberlakukan ketentuan pidana yang
mempunyai ancaman pidana pokok yang lebih ringan, dalam hal suatu perilaku itu
termasuk dalam lebih dari satu ketentuan pidana.
3. Tidak menuntut atau tidak
melanjutkan penuntutan secara bersyrat.
Menurut pendapat Bert Snel:
“Als seen Officier van Justitie van mening is date en
vervolging ongewest is, deponeert hij de zaak, het zij voorwaardelijk het zij
onvoorwaardelijk. Ook indien er te weging bewijs is of in de gevallen dat de
Officier van mening is dat de zaak beter civielrechttelijk kan worden afgedaan,
kan hij tot deponereen over gaan. In 1973 weden wat betreft de voormaamste
misdrijven 54 % van de zaken gedeponeerd. Na het uitroepen van de zaak,waarmee
de terechtzitting begint, kan de Officier de zaak niet neer deponereen. De
Officier bepaalt dus ini feite welke van de voor vervolging in aanmerking
komende zaken daadwerkelijk ter beoordelingaan de rechter worden voogelegd. De
wet noemt als kriterium voor het toepassen van het opportuniteitsbeginsel “het
algemeen belang”. De M.v.T bij het ontwerp van het Wetboek van Strafvordering
zegt met zoveel woorden dat diit inhoudt dat, indien vervolging meer nadelen
dan voordelen voor het individu en/of de samenleving met zich meebrengt,
en vaar vervolging afgezien kan worden”.
Artinya:
“Apabila jaksa berpendapat bahwa suatu penuntutan itu tidak ia
kehendaki, baik secara bersyarat maupun tidak, maka ia akan mengesampingkan
perkara. Ia juga akan mengesampingkan suatu perkara apabila ternyata terdapat
kurang bukti atau dalam hal ia berpendapat, bahwa adalah lebih tepat apabila
perkara tersebut diselesaikan menurut hukum perdata. Dalam Tahun 1973, 54% dari
kejahatan-kejahatan penting telah dikesampingkan. Setelah melakukan pemanggilan
dan berdasarkan pemanggilan mana sidang pengadilan itu telah dimulai, maka
jaksa tidak dapat lagi mengesampingkan perkara yang bersangkutan. Dengan
demikian jaksa harus menentukan perkara yang mana yang secara nyata dapat
dilimpahkan kepada hakim. Sebagai dasar untuk melakukan asas oportunitas itu
Undang-Undang hanya menyatakan “demi kepentingan umum”. Dengan panjang lebar
memori penjelasan telah mengatakan, yang pada dasarnya ingin mengatakan bahwa
suatu penuntutan itu dapat dikesampingkan, jika penuntutan itu akan
mendatangkan kerugian yang lebih besar daripada mendatangkan keuntungan baik
bagi pribadi dari tersangka dan atau bagi masyarakat ”.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perkara
mengesampingkan demi kepentingan umum adalah berdasarkan pada asas oportunitas
(opportuniteit beginsel), yang hanya dapat dilakukan sebelum perkara itu
diperiksa di pengadilan negeri.
Pengertian “penghentian penuntutan” tidak termasuk penyimpangan
perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung, maka dapat
disimpulkan bahwa KUHAP mengikuti eksistensi perwujudan dari asas oportunitas,
sehingga demikian perwujudan atas asas oportunitas tidak perlu dipermasalahkan,
mengingat dalam kenyataannya perundang-undangan positif di negara kita, yakni
dalam KUHAP penjelasan resmi Pasal 77 dan dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 1961
(Undang-undang Pokok Kejaksaan) Pasal 8 secara tegas mengakui eksistensi dari
perwujudan asas oportunitas, yaitu Jaksa Agung selaku penuntut umum tertinggi
berdasarkan kepada keadaan-keadaan yang nyata untuk tidak menuntut suatu
perkara pidana di muka persidangan pengadilan pidana agar kepentingan umum
tidak lebih dirugikan.
Referensi:
Simanjuntak
Dody. 2011. Dasar Pertimbangan Jaksa
Penuntut Umum untuk Mengesampingkan Suatu Perkara Demi Kepentingan Umum (
Tinjauan Kasus Penetapan No.Ttap 001/A/JA/2011
atas Nama Chandra M Hamzah dan Tap 002/A/JA/2011 atas Nama Bibit S Rianto
).
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas
Kristen Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar