Total Tayangan Halaman

Kamis, 02 Februari 2012

Perbedaan antara perkara yang dihentikan penuntutannya demi kepentingan hukum, dengan perkara yang dihentikan penuntutannya demi kepentingan umum


1.      Perkara yang dihentikan penuntutannya demi kepentingan hukum
Pasal  14 huruf h KUHAP menentukan bahwa salah satu wewenang penuntut umum adalah perbuatan untuk menutup perkara demi kepentingan hukum. Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP menyebutkan pula perbuatan lain yang dapat dilakukan oleh penuntut umum, yaitu berupa penghentian penuntutan, sedang dalam Pasal 46 ayat (1) huruf c KUHAP menentukan pula wewenang lain, yaitu mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.
Perkara yang dihentikan penuntutannya demi kepentingan hukum adalah perkara yang dihentikan penuntutannya dikarenakan tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana (Pasal 40 ayat (2) huruf a KUHAP).
2.      Perkara yang Dihentikan Penuntutannya demi kepentingan umum
Menurut ketentuan Pasal 8 dari Undang-Undang No. 15 Tahun 1961 tentang ketentuan-ketentuan Pokok-pokok Kejaksaan Republik Indonesia, yang berwenang mengesampingkan suatu perkara demi kepentingan umum adalah Jaksa Agung. Wewenang untuk mengesampingkan perkara berdasarkan kepentingan umum seperti itu dalam ilmu pengetahuan hukum dikenal juga sebagai wewenang untuk mengesampingkan suatu perkara berdasarkan suatu asas oportunitas (opportunities beginsel), yakni sebuah asas yang semata-mata terdapat dalam hukum acara pidana dan tidak terdapat dalam hukum penitensier.
Beberapa pendapat dari beberapa orang penulis Belanda mengenai lembaga ”mengesampingkan perkara demi kepentingan umum” sebagai perbandingan, antara lain:
Menurut Franken, wewenang untuk mengesampingkan perkara berdasarkan asas oportunitas itu meliputi wewenang untuk:
1.      Tidak  menuntut atau tidak menjalankan penuntutan
2.  Membatasi penuntutan atau penuntutan lebih lanjut tersebut, yakni terbatas untuk memberlakukan ketentuan pidana yang  mempunyai ancaman pidana pokok yang lebih ringan, dalam hal suatu perilaku itu termasuk dalam lebih dari satu ketentuan pidana.
3.      Tidak menuntut atau tidak melanjutkan penuntutan secara bersyrat.
Menurut pendapat Bert Snel:
Als seen Officier van Justitie van mening is date en vervolging ongewest is, deponeert hij de zaak, het zij voorwaardelijk het zij onvoorwaardelijk. Ook indien er te weging bewijs is of in de gevallen dat de Officier van mening is dat de zaak beter civielrechttelijk kan worden afgedaan, kan hij tot deponereen over gaan. In 1973 weden wat betreft de voormaamste misdrijven 54 % van de zaken gedeponeerd. Na het uitroepen van de zaak,waarmee de terechtzitting begint, kan de Officier de zaak niet neer deponereen. De Officier bepaalt dus ini feite welke van de voor vervolging in aanmerking komende zaken daadwerkelijk ter beoordelingaan de rechter worden voogelegd. De wet noemt als kriterium voor het toepassen van het opportuniteitsbeginsel “het algemeen belang”. De M.v.T bij het ontwerp van het Wetboek van Strafvordering zegt met zoveel woorden dat diit inhoudt dat, indien vervolging meer nadelen dan voordelen voor het individu en/of  de samenleving met zich meebrengt, en vaar vervolging afgezien kan worden”.
Artinya:
“Apabila jaksa berpendapat bahwa suatu penuntutan itu tidak ia kehendaki, baik secara bersyarat maupun tidak, maka ia akan mengesampingkan perkara. Ia juga akan mengesampingkan suatu perkara apabila ternyata terdapat kurang bukti atau dalam hal ia berpendapat, bahwa adalah lebih tepat apabila perkara tersebut diselesaikan menurut hukum perdata. Dalam Tahun 1973, 54% dari kejahatan-kejahatan penting telah dikesampingkan. Setelah melakukan pemanggilan dan berdasarkan pemanggilan mana sidang pengadilan itu telah dimulai, maka jaksa tidak dapat lagi mengesampingkan perkara yang bersangkutan. Dengan demikian jaksa harus menentukan perkara yang mana yang secara nyata dapat dilimpahkan kepada hakim. Sebagai dasar untuk melakukan asas oportunitas itu Undang-Undang hanya menyatakan “demi kepentingan umum”. Dengan panjang lebar memori penjelasan telah mengatakan, yang pada dasarnya ingin mengatakan bahwa suatu penuntutan itu dapat dikesampingkan, jika penuntutan itu akan mendatangkan kerugian yang lebih besar daripada mendatangkan keuntungan baik bagi pribadi dari tersangka dan atau bagi masyarakat ”.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perkara mengesampingkan demi kepentingan umum adalah berdasarkan pada asas oportunitas (opportuniteit beginsel), yang hanya dapat dilakukan sebelum perkara itu diperiksa di pengadilan negeri.
Pengertian “penghentian penuntutan” tidak termasuk penyimpangan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung, maka dapat disimpulkan bahwa KUHAP mengikuti eksistensi perwujudan dari asas oportunitas, sehingga demikian perwujudan atas asas oportunitas tidak perlu dipermasalahkan, mengingat dalam kenyataannya perundang-undangan positif di negara kita, yakni dalam KUHAP penjelasan resmi Pasal 77 dan dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 1961 (Undang-undang Pokok Kejaksaan) Pasal 8 secara tegas mengakui eksistensi dari perwujudan asas oportunitas, yaitu Jaksa Agung selaku penuntut umum tertinggi berdasarkan kepada keadaan-keadaan yang nyata untuk tidak menuntut suatu perkara pidana di muka persidangan pengadilan pidana agar kepentingan umum tidak lebih dirugikan.


Referensi:
  Simanjuntak Dody. 2011. Dasar Pertimbangan Jaksa Penuntut Umum untuk Mengesampingkan Suatu Perkara Demi Kepentingan Umum ( Tinjauan Kasus Penetapan No.Ttap 001/A/JA/2011  atas Nama Chandra M Hamzah dan Tap 002/A/JA/2011 atas Nama Bibit S Rianto ). Jakarta:  Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar