Total Tayangan Halaman

Kamis, 26 Januari 2012

Penerapan Pasal Pidana dalam Penyidikan

Merumuskan suatu pasal tindak pidana dalam proses penyidikan bertujuan untuk menentukan secara awal apakah suatu perbuatan seseorang telah memenuhi unsur dari salah satu pasal dari suatu tindak pidana (delict). Dari pandangan hukum positif, selanjutnya penyidik berdasarkan bukti awal yang cukup menentukan tersangka apakah sudah memenuhi persyaratan hukum pidana untuk diajukan kepada penuntut umum, atau dapat diambil langkah lain yang merupakan pertanggungjawaban dalam hukum pidana atas perbuatan yang dilakukan atau yang disebut dengan “criminal responsibility”.
Dalam suatu proses rangkaian kegiatan manajemen (planning, organizing, actuating dan controlling) penyelidikan dan penyidikan baik dilakukan secara konvensional (logika berdasarkan fakta) maupun dilakukan secara ilmiah (metode dan peralatan) penyidik dapat menggambarkan perbuatan yang tadinya bersifat umum/general menjadi kesimpulan yang focus dan factual lengkap dengan proses pembuktiannya. Hasil administrasi Penyidikan yang disajikan kepada penuntut umum (melalui atasan) yang sudah memenuhi persyaratan formil dan materiil merupakan karya nyata bagi setiap penyidik (Polri).
Penyidik merupakan jabatan (fungsional) yang harus didukung oleh suatu keahlian pola pokir dan keterampilan untuk melakukan suatu proses tindakan penanganan perkara (tindak pidana), mulai dari menganalisa Informasi/Laporan, menerapkan pasal yang sesuai sampai pada penerimaan putusan dari pengadilan.
Ada beberapa bentuk penerapan pasal dalam penyidikan tindak pidana yang perlu dipahami oleh penyidik sebagai langkah awal gambaran pembuatan surat dakwaan yang selanjutnya menjadi porsi tugas profesi penuntut umum (Jaksa) ; yaitu :
a. Pasal Tunggal
Penerapan pasal hanya satu/tunggal tidak ada pilihan lain maupun pengganti atau kumulasi /kombinasi. Digunakan bila berdasar pembuktian terhadap materi perkara hanya satu tindak pidna saja. Tidak terdapat kemungkinan-kemungkinan alternatif atau kemungkinan untuk merumuskan tindak pidana lain sebagai penggantinya atau kemungkinan untuk mengkumulasikan atau mengkombinasikan tindak pidana.
Contoh : Melanggar Pasal : 359 KUHP.
b. Pasal Alternatif
Tersusun dari beberapa pasal tindak pidana yang antara tindak pidana yang satu dengan tindak pidana yang lain bersifat saling mengecualikan. Dasar pertimbangan penggunaan pasal alternatif karena penyidik belum yakin benar tentang kualifikasi atau pasal yang tepat untuk diterapkan pada tindak pidana tersebut. Biasanya digunakan dalam hal antara kualifikasi tindak pidana yang satu dengan kualifikasi tindak pidana yang lain menunjukan corak/ciri yang sama atau hampir bersamaan, contohnya :
- Pencurian atau Penadahan
- Penipuan atau Penggelapan
- Pembunuhan atau Penganiayaan
Pembuktiannya lebih sederhana karena dakwaan tidak perlu dibuktikan secara berurut tetapi langsung kepada tindak pidana yang terbukti.
Contoh : Primer : Pasal : 378 KUHP (penipuan) atau Subsider 372 KUHP (penggelapan)
Dalam bentuk pasal alternative apabila salah satu pasal telah dinyatakan terbukti maka pasal lainnya tidak perlu dipertimbangkan lagi. Bila tuduhan primer tidak terbukti baru diberlakukan tuduhan subsider-nya.
c. Pasal Subsider / Berlapis
Subsider (pasal urutan kedua menggantikan pasal pertama). Dakwaan subsider adalah sebagai pengganti dari pada dakwaan primer dan seterusnya. Bentuk ini dipergunakan apabila suatu akibat yang ditimbulkan oleh suatu tindak pidana menyentuh atau menyinggung beberapa ketentuan pidana.
Kualifikasi tindak pidananya maupun mengenai pasal yang dilanggar masih ragu. Susunan pasal Subsider adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana pokok terberat ditempatkan pada lapisan atas dan yang lebih ringan berada dibawahnya.. Meskipun terdapat beberapa pasal tindak pidana tetapi yang akan dibuktikan hanya salah satu saja.
Ditinjau dari sistem pembuktiannya penerapan pasal ini ada kemiripan dengan penerapan pasal alternatif, karena hanya satu pasal saja yang akan dibuktikan. Perbedaannya ialah pembuktian pasal subsider dilakukan secara berurut dengan mulai pada pasal tindak pidana yang diancam dengan pidana terberat sampai kepada pasal yang dipandang terbukti. Sedangkan pada penerapan pasal alternative pembuktiannya langsung dilakukan kepada lapisan dakwaan yang dipandang terbukti, tanpa perlu dibuktikan lebih dahulu pasal-pasal sebelumnya.
Pada penerapan pasal Subsider pasal tindak pidana yang diancam dengan pidana terberat ditempatkan pada urutan teratas, disusul dengan ancaman yang lebih ringan. Pada pasal alternatif cara penempatan lapisan demikian tidak dikenal. Pada penerapan pasal alternatif antara pasal yang satu dengan pasal yang lain dipisah oleh kata-kata atau, sedangkan pada subsider tidak dikenal.
Contoh penyusunan pasal Subsider :
- Primer : melanggar pasal 340 KUHP
- Subsider : melanggar pasal 338 KUHP
- Lebih Subsider : melanggar pasal 335 KUHP
- Lebih Subsider lagi : melanggar pasal 353 KUHP
- Lebih-lebih Subsider lagi : melanggar pasal 351 ayat 3 KUHP
Satu hal yang perlu diperhatikan bahwa dalam penggunaan pasal subsider ialah dalam satu tindak pidana yang akibatnya menyentuh pula beberapa ketentuan pidana. Bukan dalam pengertian satu tindak pidana yang melanggar beberapa ketentuan pidana.
d. Pasal Kumulatif
Disebut juga dengan istilah pasal dakwaan berangkai, menggambarkan bahwa dalam pasal dakwaan itu terdapat beberapa tindak pidana yang didakwakan dan kesemuanya harus dibuktikan. Bentuk seperti ini dipergunakan dalam hubungannya dengan samenloop/concursus atau deelneming. Dipergunakan dalam hal menghadapi seorang yang melakukan beberapa tindak pidana atau beberapa orang yang melakukan satu tindak pidana, terjadinya suatu kumulasi, baik kumulasi perbuatan maupun kumulasi pelakunya.
Masalah penerapan pasal ini menjadi cukup rumit apabila kurang adanya persamaan persepsi antara penyidik dengan penuntut umum karena dalam pasal yang sama bisa saja terjadi pemahaman yang berbeda.

Rabu, 18 Januari 2012

Asas hukum acara pidana



Asas di dalam hukum acara pidana di Indonesia adalah:
§  Asas perintah tertulis, yaitu segala tindakan hukum hanya dapat dilakukan berdasarkan perintah tertulis dari pejabat yang berwenang sesuai dengan UU.
§  Asas peradilan cepat, sederhana, biaya ringan, jujur, dan tidak memihak, yaitu serangkaian proses peradilan pidana (dari penyidikan sampai dengan putusan hakim) dilakukan cepat, ringkas, jujur, dan adil (pasal 50 KUHAP).
§  Asas memperoleh bantuan hukum, yaitu setiap orang punya kesempatan, bahkan wajib memperoleh bantuan hukum guna pembelaan atas dirinya (pasal 54 KUHAP).
§  Asas terbuka, yaitu pemeriksaan tindak pidana dilakukan secara terbuka untuk umum (pasal 64 KUHAP).
§  Asas pembuktian, yaitu tersangka/terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian (pasal 66 KUHAP), kecuali diatur lain oleh UU.


Hukum

Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan di mana mereka yang akan dipilih. Administratif hukum digunakan untuk meninjau kembali keputusan dari pemerintah, sementara hukum internasional mengatur persoalan antara berdaulat negara dalam kegiatan mulai dari perdagangan lingkungan peraturan atau tindakan militer. filsuf Aristoteles menyatakan bahwa "Sebuah supremasi hukum akan jauh lebih baik dari pada dibandingkan dengan peraturan tirani yang merajalela."