Total Tayangan Halaman

Jumat, 30 Desember 2016

Menyelisik peristiwa mendatangkan hampa
Sulit melupakan maka pergilah
Dermaga mengundang kebebasan
Camar menari indah di kejauhan
Menghujam lautan menaruh asa

Kelamnya masa tak menambah rintangan, tak jua meniadakan 
Lepaskan amarah binasakan rasa

Rasa meruntuhkan jiwa
Pikiran meneguhkan asa
Amarah menumbuhkan dahaga
Nurani melenyapkan dengki

Minggu, 25 Desember 2016

Melangkahlah ke sudut jendelamu
Berdirilah disana
Gunakan mata hatimu
Rasakan

Angin itu telah menaklukkan berbagai rintangan
Hembusannya hanya menyampaikan pesan berharga
Dari seseorang yang berharga bagimu
Pesan itu ditulis dengan air mata
Yang menguap dibawah teriknya matahari
Menyeruak diantara hamparan awan
Menyelinap dalam sayap-sayap angin
Jangan sia-siakan


Sabtu, 24 Desember 2016

Flo

Aku hasratnya
Pujaan hatinya
Yang mengilhami goresannya
Walaupun samar tuturnya

Dia curahkan untukku selalu
Dia sebut nama kecilku
Rasa mengadu itulah aku
Berdetak nadiku

Lama tiada namaku dalam goresan penamu
Oh jiwaku, ada apa denganmu?
Kenapa kini engkau?
Dengarlah bisikan hatiku

Kau luluhkan beku hatiku
Kau rekahkan senyumku
Ke awan tinggi kau terbangkanku
Oh, katakan padaku, sesakkah benakmu?

Hapus gelisahku
Luruskan benakmu
Goreskan penamu
Detakkan nadiku

Melayangku dalam khayalan
Menelisik dalam kegelapan
Termenung atas bayangmu
Kenapa gerangan dirimu?


Di sudut ruangan jiwa-jiwa riuh beradu
Sesekali hening mencuri waktu
Di awal waktu perkenalan syahdu menyapa
Ada kehangatan sendirinya tercipta

Satu-persatu tersungging senyum madu

Kupancarkan emosi kemudian kau redam
Banyak meredam emosimu terpancar
Senyum menahan tawa, kupancing emosimu terbang ke awang
Senyumanmu pun merekah memberi maklum

Tatapan mata saling menggapai
Sorot mata mengamati dalam diam
Sesekali kukirim ombak pada ketenangan jiwanya
Begitupun kau
Bersama-sama kita goyang kemudinya
Kita tertawa
Kau dan dia bersekutu kemudian 
Mengirim ombak menggoyang kemudiku
Kita tertawa
Dengan kilat dia goyang kemudimu
Dengan senang kukirim letupan kecil
Lagi tertawa

Demikianlah selanjutnya
Jiwa-jiwa riuh beradu
Menunggu pagi menjelang waktu
Berkelana meninggalkan luka
Kereta apiku menjauhi hiruk-pikuk
Kulewati malam penuh tanya
Sunyi diantara keramaian

Kusembunyikan jejak hidup
Merekahlah kesegaran hidup

Aku sampai pada peraduanku
Takkan kubiarkan kau mengikutiku
Ku harus menghapusmu, alam kan membantuku
Hati terluka tak sudi diganggu
Laki-laki mana yang tak mendidih?
Ah... Sudahlah...!

The Pride

Sore itu cuaca panas menyelimuti kamarnya. Suasana di ruangan itu tak hening. Tiada pertanda kehidupan.

Kedua tangan kurus itu begitu tegar menopang buku tebal tepat dihadapannya. Satu jam telah berlalu namun ia masih berkutat pada halaman yang sama. Tubuhnya masih saja bersandar pada kursi sofa merah bercampur abu-rokok itu. Sofa murahan namun cukup empuk. Sebatang rokok terselip tanpa daya dimulutnya. Sesekali menghisap penuh hasrat, lalu diiringi desahan berat yang meniupkan untaian asap berbentuk garis lurus.

Handphone-nya bergetar memecah keheningan diiringi senandung Hungarian Dance No. 5, gubahan maestro Johannes Brahms. Gesekan biolanya begitu menyayat hati. Pilihan tepat merepresentasikan getirnya lika-liku kehidupannya yang tak berkesudahan. Berulang-ulang, hingga akhirnya mengusik jiwanya yang sedang terbang di awang-awang. Lamunannya terhenti.

“Halo!”
“Halo, Beb!” seru Andy.
“Ada apa, Beb?”
“Kau lagi dimana?”
“Di rumah. Kenapa?”
“Datang, dong. Aku kangen nih sama kamu.”

Andy selalu saja mengandalkan rayuan gombalnya. Thamrin hanya bias tertawa. Pantas saja perasaan kaum hawa selalu luluh ketika mendengarnya bicara, pikirnya. Kata-kata manis itu sungguh memabukkan.

“Serius nih!” ia menimpali.
“Memangnya kau lagi dimana?”
“Lagi di tempat Tagor. Ini ada Radot juga.”
“Hah? Serius kau?” ia tak percaya. 

Ia memincingkan mata, mengeryitkan kening. Waspada atas aksi-aksi jahiliah. Bidang tipu-menipu merupakan spesialisasi lawan bicaranya. Hening.

Sadar akan ketidakpercayaan teman bicaranya, Andy berusaha meyakinkan.

“Iya. Dia lagi ada panggilan kerja ….
Tiba-tiba pembicaraan terpotong. Terdengar suara berisik di ujung telepon.
“Halo!” sapa Radot.
“Halo!” sahutnya.
“Datang kemari, dong.”
“Hah! Buat apa?”
“Tak kangen kau samaku?” aksen Bataknya muncul ke permukaan.
“Hahaha ….  Sedang apa kau disini?”
“Ini lagi ada panggilan kerja. Kemarin sudah selesai tes di Bandung.”
“Oh.”
“Datang ya …,” pungkasnya, disusul suara berisik yang tidak jelas kedengarannya.
“Halo! Datang kau, ya? Temani aku besok pagi ke UI,” Andy mencerocos.
“Buat apa? Aku lagi pailit, nih,” jawabnya diplomatis. 

Ia tidak tertarik sama sekali. Ia juga sedang tidak punya uang. Maklum, rekor penganggurannya sudah menjelang tahun ketiga. Teman-temannya sendiri tidak percaya jika dia masih menganggur. Sulit dipercaya lulusan sarjana menganggur selama itu. Namun, ia punya alasan tersendiri jika disamping ketololannya pada bidang tertentu.

“Aku lagi ada panggilan tes. Kita ketemu di Stasiun Tebet. Jam sembilan pagi, ya?”
Sesaat ia menunggu Thamrin yang tampaknya sedang diam berpikir.
“Oke?” ia mendesak lagi.
“Oke!”
“Baik. Sampai ketemu besok!” Sambungan terputus.

Ia kesulitan mengatur waktu tidur yang berbalas pula pada jam bangunnya. Saat itu jam tidurnya berkisar antara jam empat hingga jam lima pagi. Ia menyetel alarm pada handphone-nya. Pertama, pada jam lima pagi. Kedua, pada jam setengah enam pagi.

Berharap agar tidur terlelap, malamnya ia cepat-cepat beringsut menuju tempat tidur. Namun lagi-lagi matanya tak bisa diajak kompromi. Kepalanya selalu saja dihinggapi berbagai macam pikiran. Ia memaksa memejamkan mata. Tidak berhasil. Ia beralih pada cara lain. Ia meraih sebuah buku. Namun lagi-lagi gagal. Kepalanya semakin sakit, terutama disekitar keningnya yang berpusat pada kedua bola-matanya. Ia sangat resah. Akhirnya ia beranjak ke ruang tamu, menonton hingga pagi. 

Ia menguap. Jam dinding menunjukkan pukul empat pagi. Ia malah mengantuk disaat-saat seperti ini. Namun ia sudah berjanji ia sudah berjanji pada Andi. Ia sungguh butuh pekerjaan. Ia harus melawan rasa kantuknya dari alam bawah sadarnya.

Ia merupakan penderita insomnia tingkat akut, dan kemungkinan menderita hipokondria. Ia selalu mengantuk pada pagi hingga sore hari, namun merasa bugar untuk beraktivitas pada sore hari hingga subuh. Pada jam-jam inilah ide-ide revolusioner menghinggapi kepalanya, yang belum sekalipun terwujud sama sekali.
***


Sabtu. Jam setengah enam pagi hari, ia bergegas mandi kemudian berganti pakaian. Setengah jam kemudian ia melahap roti untuk mengganjal perutnya. 

Pukul 06.30, ia meninggalkan rumah, berjalan sekitar lima puluh meter, kemudian menaiki angkutan umum yang lalu-lalang menuju Stasiun Bekasi. Perjalanannya memakan waktu sekitar empat puluh lima menit. Tidak seperti biasanya, kali itu sopir angkot tidak bolak-balik berhenti menunggu penumpang. 

Hampir satu jam hingga rel kereta api terlihat di kejauhan. Beberapa menit kemudian, ia turun. Kereta Rel Listrik (KRL) sedang mematung di kejauhan. Menunggu hingga jam keberangkatan yang telah ditentukan. Ia berjalan mendekatinya.

“UI satu!” serunya melalui lubang kecil di hadapannya. Ia menyodorkan uang pecahan sepuluh ribu. Sekilas selembar uang kertas dihadapannya berpindah tempat. Satu kartu berwarna putih, selembar struk pembayaran, dan kembalian sebesar dua ribu lima ratus rupiah disodorkan padanya.
"Terima kasih!"

Ia berjalan menuju portal masuk. Meletakkan kartu pada salah satu mesin.  Beberapa petugas satpam dan tentara tampak santai memantau keadaan sekitar.

“Tettt ….” mesin itu mengeluarkan bunyi diiringi portal yang terbuka. Ia melangkah terburu-buru menuju peron. 

Ia masuk gerbong terdekat, lalu menunggu selama lima belas menit hingga pintu menutup. Lalu KRL itu meluncur dengan tenangnya. Stasiun itu merupakan stasiun keberangkatan pertama, namun seluruh gerbong sudah disesaki penumpang.

Handphone-nya berbunyi. Andy menelepon.

“Halo!” sapanya. Ia menyelipkan buku yang sedang ia baca pada ketiaknya.
“Halo! Sudah dimana?”
“Jatinegara. Kau?”
“Ini mau berangkat. Baiklah. Sampai jumpa disana, oke!” jawab Andy terburu-buru.
“Oke.” Sambungan terputus.

Kereta yang melaju perlahan-lahan. KRL sudah tiba di Stasiun Manggarai. Ia harus transit disitu. Pintu terbuka. Ia turun lalu berjalan ke peron seberang mengambil rute arah Depok. 

Ia hanya berdiri termangu. Setengah jam kemudian kereta tujuan Depok akhirnya mendekat.

Perjalanan kali ini cukup lancar. Ia sudah menginjakkan kakinya di Stasiun Tebet ketika jam dinding yang menggantung di peron stasiun menunjukkan pukul 08.43. Ia tiba lebih cepat dari biasanya.

Ia berdiri tegak dan menebarkan pandangan di sekeliling peron. 

“Tak ada,” gumannya.

Ia yakin Andy pasti datang terlambat. Sambil menunggu kedatangannya, ia melanjutkan bacaannya, yang terhenti sejenak ketika ia keluar dari gerbong kereta. “The Devil and Miss Prym, karya Paulo Coelho”. 

Novel itu mengisahkan tentang seorang laki-laki asing yang memutuskan untuk tinggal di sebuah desa terpencil di Amerika Selatan bernama Viscos. Laki-laki itu datang kesana dengan tujuan mencari jawaban atas pergumulan hidupnya. Ia ingin tahu, apakah pada hakikatnya manusia itu baik atau jahat. Ia memutuskan melakukan perjalanan itu setelah istri dan anak-anaknya dibunuh oleh teroris dengan menggunakan senjata yang ironisnya diproduksi oleh perusahaan yang dipimpinnya sendiri. Ia merasa tak pantas menerima kenyataan itu. Lantas, ia sangat kecewa atas kehilangan orang yang paling ia cintai. Kekecewaannya semakin dalam lantaran is selalu bersikap baik. Ia selalu taat hukum, menjalankan bisnisnya sesuai regulasi yang berlaku. Ia merupakan jemaat yang rajin beribadah ke gereja dan jemaat yang selalu perintah-perintah Tuhan. 

Pukul 10.00 pagi itu, KRL tujuan Bogor berhenti sesaat untuk menurunkan dan menaikkan penumpang, lalu melaju lagi. Lagi, Thamrin menebarkan pandangannya ke peron seberang, mencari-cari sosok Andy.

“Itu dia.”

Tampak Andy sedang duduk disebelah Oloando yang duduk tenangnya. Tangannya melakukan steepling di pangkuannya. Sementara Andy memandang ke sekelilingnya, sepertinya ia sedang mencari Thamrin. Tak berselang lama, pandangan mereka bertemu, lantas saling mengumbar senyum.

 “Beb!” panggilnya.

Thamrin melambaikan tangan lalu berjalan menyeberangi peron menuju tempat duduk mereka berdua.

Mereka bersalaman satu sama lain disertai senyum bersahabat.

“Sari buah Carcinia mangostana. Mau?” Ia menyodorkan minuman botol kemasan yang digenggamnya.
 Andy mengernyit dengan bahu terangkat, bibirnya juga mengembang kedepan.  Ia tak tertarik sama sekali.
Thamrin beralih pada Oloando. “Lae?”
“Boleh.” Oloando meraihnya.
Tak sampai lima belas menit, KRL tujuan Bogor telah tiba. 
“Naik, tidak?” tanya Thamrin. 
“Naiklah!” sahut Oloando. Ia berdiri pun menunggu pintu terbuka.
“Kereta yang lain saja,” sahut Andy. Ia masih duduk bersandar pada kursi yang persisi di samping tiang penyangga bangunan peron.

Mendengarnya, Thamrin dan Oloando kelimpungan. Mereka berdua jadi ragu-ragu menaiki kereta yang sudah hendak membukakan pintu.

“Terlambat kau nanti,” Thamrin berseru mengingatkan, “Bagaimana? Naik tidak?” ia jengkel. Ia waswas karena pintu hanya terbuka sesaat, apalagi jika penumpang yang naik dan turun cuma sedikit.

Pintu pun terbuka. Penumpang turun dan naik. “Memang ada-ada saja kawan ini, bah. Naik saja kita, Lae! Biarkan saja kalau dia tidak mau naik. Yang mau ujian itu dia, bukan kita. Nanti dia juga yang repot,”  Oloando menyindir Andy.
“Oke!”

Keputusan mereke berdua bulat. Mereka Thamrin dan Oloando naik. Melihat mereka berdua di dalam kereta, sekonyong-konyong Andy bergegas naik. Ia berjalan menuju tempat duduk mereka berdua.  Perjalanan pun berlanjut menuju Stasiun Universitas Indonesia, Depok.

“Bikin kesal aja kerjaanmu, Pra.”
“Sori dulu, Pra. Padat kali tadi kutengok penumpangnya.”
“Inilah kan, Lae. Sudah tahu mau ujian, tetap saja kawan kita ini milih-milih.” Oloando mencemooh.
“Sabar-sabar sajalah, Lae. Kawan pula yang kita hadapi.”

Begitulah masalah mereka jika melakukan perjalanan dengan KRL, seringkali mereka tiba-tiba  bodoh. Dan biang keladinya adalah Andy dengan kebiasannya yang suka memilih-milih. Terlalu pemilih jika penumpangnya lagi ramai. Tak tahu diuntung.

Setibanya di stasiun Universitas Indonesia, mereka istirahat sesaat. Sempat-sempatnya Andy berceloteh dengan tukang gorengan langganannya. Mulutnya tak bisa diam mencicipi tahu-isi kesukaannya.

“Makan gorengan dulu kita.” pintanya pada mereka berdua, seraya menunjuk berbagai jenis gorengan di depannya.
“Enak, Pra … Sini!” bujuknya.

Mereka berdua mendekat patuh pula, lalu meraih gorengan yang baru dimasak.
Mereka bertiga asyik menguyah sambil memandangi anak kampus yang duduk di halte. Sesekali mereka melirik wanita yang menarik perhatian, disusul bisikan-bisikan pada telinga yang sedang dalam posisi siaga.

Andy mengunyah dengan lahapnya. Seperti sedang kelaparan saja. Padahal matanya sedang celangak-celinguk kesana-kemarin. Ia terbius kecantikan-kecantikan di depannya. Tanpa terasa tujuh gorengan sudah hanyut di mulutnya. Ia kenyang.

“Masih nambah tidak, Pra?”
Oloando menggelelengkan kepalanya.
“Kau, Beb?”
“Tidak.”
Ia beralih pada penjual goreng. “Berapa semuanya, Pak?”
“Lima belas ribu!”
“Aquanya tiga, ya!”
“Jadi dua puluh tujuh!”
“Ini, Pak! Terimakasih!”
 Ia meraih rokok dari saku disusul api kecil koreknya.
“Shhh … hssss ….” Terpancar semangat dari hembusannya. Asap rokok yang masuk ke paru-paru sedikit mengurangi ketegangan yang dirasakannya.
“Ayo!” ia memberi komando pada kedua temannya untuk melanjutkan perjalanan. Kemudian, mereka berjalan kaki menyusuri jalanan yang tampak sepi dibanding hari biasa. Deretan pohon menjulang tinggi di kedua sisi jalan. Mereka berusaha melindungi setiap pejalan kaki yang melintas dengan tabahnya.

Panasnya terik matahari membuat mereka merasa gerah. Sesekali terdengar suara menggerutu dari belakang. Andy memilih bungkam. Beruntung, ada-ada saja wanita cantik melintas di depan mereka di antara gerombolan-gerombolan orang yang sedang lari pagi.

Sesekali mereka menunjuk wanita cantik yang mampu menarik perhatian mereka. Sontak saja wajah-wajah itu berhasil mengubah wajah muram durja mereka menjadi ceria. Beban perjalanan yang dirasakan mereka pun terasa berkurang.

“Ehem … ehem … suit … suit …,” goda mereka, disusul siulan nyaring pada wanita berambut panjang yang datang dari arah berlawanan.

Wanita itu tak menggubris mereka. Ia hanya mengelap keringat di wajahnya dengan handuk kecilnya yang berwarna pink. Namun, Oloando mendapatinya kedua bola matanya melirik ke arah mereka bertiga.

“Mata kami bertemu, Lae!” katanya berseri-seri.
“Ah … perasaan kali kau, Lae.”
“Serius, Lae!”
“Hahaha … Boleh sok ganteng, Pra! Tapi jangan sok dilirik.” Andy menyeringai.
“Gitu kali kau, Pra.”
“Lagian kau, Pra. Tidak ada angin, atau pun hujan, bisa kegeeran gitu.”
“Serius aku, Pra.”
“Ga percaya awak, Pra.”
“Oh. Gitu ya?” Oloando mengernyit dan memasang muka masam.
“Iya… iya…, Pra. Ganteng pun kau, Pra.”

Oloando menegakkan kepalanya tetap sementara mukanya masih terlihat masam. Bolak-balik Andy merayu membujuknya. Ia malah membuang muka. Thamrin hanya bisa menahan tawa melihat rayuan bertubi-tubi Andy yang mental pada Oloando.

Dua puluh menit kemudian, Gedung Fakultas Teknik muncul di hadapan mereka.

***

Jumat, 14 Oktober 2016

THE CRIMINAL JUSTICE SYSTEM AND THE PROCESS OF HANDLING CORRUPTION CASE IN INDONESIA

 1.     The Criminal Justice System in Indonesia
Indonesia adopts an integrated criminal justice system or integrated. The meaning of the criminal justice system is an integrated judicial system each individual sub-system sustainable and mutually related to each other in tasks and authority in the criminal justice process in Indonesia.
The criminal justice system in Indonesia is identical to the criminal law enforcement system that comes into the system of power and authority to enforce the law. The criminal justice system is in the implementation of its judicial power manifested in 4 (four) sub-systems, are:
1.      The power of investigation by an investigator department
2.       The power of prosecution by the public prosecutor department
3.      The power to judge or verdict by the judiciary
4.      The power of the implementation of the verdict by the executive officer  is the public prosecutor.

Here are the Integrated Criminal Justice System or Integrated according to the Code of Criminal Procedure (KUHAP), namely:
Indonesian Criminal Justice System


Police →→→ Prosecutor →→→ Court →→→ Penintentiary Department
            ↑       ↑                                                                                                                    ↑
↑       ↑  ←   ←    ←   ←     →    →   →   →   → Advocate  ← ← ← → → →↑
            ↑                                                                                     ↑
Citizen (Report, Complaint) ←←←→→→→ ↑

 Information:
1.    The police as an investigator and an investigator on the case being alleged as or criminal acts. The powers and duties set forth in Article 4-49 Code of Criminal Procedure.
2.      Attorney as public prosecutor received the dossier examination, evidence and suspects. The prosecution is what will make the indictment against the suspect that the suspect turned into a status than with term prisoners accused the prosecutor no longer detained by the police. (Note: if the defendant had previously been detained at the level of investigation.) The authority of the prosecutor stipulated in the Criminal Procedure Code Article 4-49.
3.     After the investigation file and had made the indictment against the defendants and their later transferred to the court of competent judges. (Remarks begin of the trial court or the District Court.)
4.      Once the decision in Kracht (fixed and sure) that there are no legal remedies proposed by the parties, if the decision handed down is the verdict sentencing the Prosecution in accordance with article 270 of the Criminal Procedure Code will make the execution of the decision to put prisoners into Penitentiary.
5.      After a period of custodial sentence is completed, then the convicts back into society.
At the commencement of the criminal justice system, whether the suspect / defendant and the victim can use legal counsel or advocate. Conditions suspect / defendant in using legal counsel stipulated in Article 69-74 Criminal Procedure Code.

2. The Process of Handling Corruption Case in Indonesia
The judiciary consists of 4 (four) courts are courts of general court, military court, religious court and administrative courts. Corruption is on trial at the Corruption (TIPIKOR) that goes into the general court. Corruption is an act or a criminal act special provisions set out in the Code of Penal (KUHP). 
Provisions initially set out in Act No 24 Prp. 1960 on Investigation, Prosecution and Investigation Crime because it did not comply with the development needs of the community at that time was later replaced by Act 3 of 1971 on Eradication of Corruption and then in 1999 was replaced by the provisions of Law No. 31 of 1999 on Corruption Eradication and ultimately bore updated with Law No.20 of 2001 on the Amendment of Act 31 of 1999 on Corruption
The process of handling the corruption together with the provisions of law applicable in the Criminal Code. Investigators remain under the authority of the police and the public prosecutor remains under the authority of Attorney, unless otherwise stipulated in legislation on combating corruption, is Law No. 31 Year 1999 jo Law No. 20 of 2001.
Article 27 of Law No. 20 of 2001 regulating provision for the crime of corruption is difficult to prove, it can be done in teams under the coordination of the Prosecutor General. In addition to coordinating, the Attorney General also controls the investigation, investigation and prosecution of corruption are conducted jointly by the person who is subject to the general court and military court.
In the field of criminal, prosecutor other than as a public prosecutor and the executor of the execution of the judge's decision can also act as investigators in certain criminal offenses under the legislation, an example of article 26 of Law No. 20 of 2001 stipulates that the prosecutor can control the investigation in this case, prosecutors in corruption could conduct an investigation.
This is contrary to the provisions of the show, the public prosecutor in the Criminal Code only as a public prosecutor. First contradiction arises from Article 284 paragraph (2) Criminal Procedure Code, that there are exceptions for a while about the "special provisions" of criminal procedure. Then in chapter 17 of Government Regulation No. 27 of 1983 on the implementation of the Code of Criminal Procedure further clarify the conflict of authority as investigators in special crimes, especially corruption that authority in the hands of investigators investigating prosecutors and other investigation authorities.

The existence of this conflict affects the performance of police and prosecutor department in the process of corruption before and after the establishment of the KPK is formed.
The process of handling corruption cases by the Police and the prosecutor before the KPK was created :
1.      The investigation conducted by the police, while investigations are carried out jointly by the police and the prosecutor, and henceforth will be referred to the pourt.
2.      Handling of corruption given total authority to the Police and the prosecutor to conduct an investigation, investigation and prosecution.
3.      Handling of corruption cases by the Police and the prosecutor in the period before the KPK formed does not function effectively and efficiently in combating corruption.Therefore, the KPK needs to be established and in 2002 by Act No. 30 of 2002 the KPK is formed. KPK is independent, but ad hoc, meaning that the KPK will be dissolved when the police and the prosecutor department to function effectively and efficiently in eradicating corruption.

The handling of corruption cases by the police and prosecutor after the KPK was created:
1.      After the KPK was created, the handling of corruption cases divided by 2 (two) authority. In the past only police and prosecutor, but now the KPK has the authority to deal with corruption. However, there is the classification of the type of corruption that is how handled by the KPK.

2.      The KPK will deal with corruption when it comes to state losses of at least Rp.1,000,000,000.00 (one billion rupiah). While corruption under Rp.1.000.000.000,00 (one billion rupiah) will be handled by the police.