Sore itu cuaca panas menyelimuti kamarnya. Suasana di ruangan itu tak hening. Tiada pertanda kehidupan.
Kedua tangan kurus itu begitu tegar menopang
buku tebal tepat dihadapannya. Satu jam telah berlalu namun ia masih berkutat
pada halaman yang sama. Tubuhnya masih saja bersandar pada kursi sofa merah
bercampur abu-rokok itu. Sofa murahan namun cukup empuk. Sebatang rokok
terselip tanpa daya dimulutnya. Sesekali menghisap penuh hasrat, lalu diiringi
desahan berat yang meniupkan untaian asap berbentuk garis lurus.
Handphone-nya bergetar memecah
keheningan diiringi senandung Hungarian Dance No. 5,
gubahan maestro Johannes Brahms. Gesekan biolanya begitu menyayat hati. Pilihan tepat merepresentasikan getirnya lika-liku kehidupannya
yang tak berkesudahan. Berulang-ulang,
hingga akhirnya mengusik jiwanya yang sedang terbang di awang-awang. Lamunannya terhenti.
“Halo!”
“Halo, Beb!” seru Andy.
“Ada apa, Beb?”
“Kau lagi dimana?”
“Di rumah. Kenapa?”
“Datang, dong. Aku kangen nih sama kamu.”
Andy selalu saja mengandalkan rayuan gombalnya. Thamrin hanya bias tertawa.
Pantas saja perasaan kaum hawa selalu luluh ketika mendengarnya bicara, pikirnya. Kata-kata manis itu sungguh memabukkan.
“Serius nih!” ia menimpali.
“Memangnya kau lagi dimana?”
“Lagi di tempat Tagor. Ini ada Radot juga.”
“Hah? Serius kau?” ia tak percaya.
Ia
memincingkan mata, mengeryitkan kening. Waspada atas aksi-aksi jahiliah. Bidang tipu-menipu merupakan
spesialisasi lawan bicaranya. Hening.
Sadar akan ketidakpercayaan teman bicaranya, Andy berusaha meyakinkan.
“Iya. Dia lagi ada panggilan kerja ….”
Tiba-tiba pembicaraan
terpotong. Terdengar suara berisik di ujung telepon.
“Halo!” sapa Radot.
“Halo!” sahutnya.
“Datang kemari, dong.”
“Hah! Buat apa?”
“Tak kangen kau samaku?” aksen Bataknya muncul
ke permukaan.
“Hahaha ….
Sedang apa kau disini?”
“Ini lagi ada panggilan kerja. Kemarin sudah
selesai tes di Bandung.”
“Oh.”
“Datang ya …,” pungkasnya, disusul suara
berisik yang tidak jelas kedengarannya.
“Halo! Datang kau, ya? Temani aku besok pagi
ke UI,” Andy mencerocos.
“Buat apa? Aku lagi pailit, nih,” jawabnya diplomatis.
Ia tidak tertarik sama sekali. Ia juga sedang tidak punya uang. Maklum, rekor
penganggurannya sudah menjelang tahun ketiga. Teman-temannya sendiri tidak
percaya jika dia masih menganggur. Sulit dipercaya lulusan sarjana menganggur
selama itu. Namun, ia punya alasan tersendiri jika disamping ketololannya pada bidang tertentu.
“Aku lagi ada panggilan tes. Kita ketemu di Stasiun
Tebet. Jam sembilan pagi, ya?”
Sesaat ia menunggu Thamrin yang tampaknya
sedang diam berpikir.
“Oke?” ia mendesak lagi.
“Oke!”
“Baik. Sampai ketemu besok!” Sambungan
terputus.
Ia kesulitan mengatur waktu tidur yang berbalas pula pada jam bangunnya.
Saat itu jam tidurnya berkisar antara jam empat hingga jam lima pagi. Ia menyetel alarm pada handphone-nya. Pertama, pada jam lima pagi. Kedua, pada jam setengah enam pagi.
Berharap agar tidur terlelap, malamnya ia cepat-cepat beringsut menuju tempat tidur. Namun lagi-lagi matanya tak bisa diajak kompromi. Kepalanya selalu saja dihinggapi berbagai macam pikiran. Ia memaksa memejamkan mata. Tidak
berhasil. Ia beralih pada cara lain. Ia meraih sebuah buku. Namun lagi-lagi gagal.
Kepalanya semakin sakit, terutama disekitar keningnya yang berpusat pada kedua bola-matanya. Ia sangat resah. Akhirnya ia beranjak ke ruang tamu, menonton hingga pagi.
Ia menguap. Jam dinding menunjukkan pukul empat pagi. Ia malah mengantuk disaat-saat seperti ini. Namun ia sudah berjanji ia sudah berjanji pada Andi. Ia sungguh butuh pekerjaan. Ia harus melawan rasa kantuknya dari alam bawah sadarnya.
Ia merupakan penderita insomnia tingkat akut,
dan kemungkinan menderita hipokondria. Ia selalu mengantuk pada pagi
hingga sore hari, namun merasa bugar untuk beraktivitas pada sore hari hingga
subuh. Pada jam-jam inilah ide-ide revolusioner menghinggapi kepalanya, yang belum sekalipun terwujud
sama sekali.
***
Sabtu. Jam setengah enam pagi hari, ia bergegas mandi
kemudian berganti pakaian. Setengah jam kemudian ia melahap roti untuk
mengganjal perutnya.
Pukul 06.30, ia meninggalkan rumah, berjalan sekitar
lima puluh meter, kemudian menaiki angkutan umum yang lalu-lalang menuju Stasiun
Bekasi. Perjalanannya memakan waktu sekitar empat puluh lima menit. Tidak seperti biasanya, kali itu sopir angkot tidak bolak-balik berhenti menunggu penumpang.
Hampir satu jam hingga rel kereta api terlihat di kejauhan. Beberapa menit kemudian, ia turun. Kereta Rel Listrik (KRL) sedang mematung di
kejauhan. Menunggu hingga jam keberangkatan yang telah ditentukan. Ia berjalan mendekatinya.
“UI satu!” serunya melalui
lubang kecil di hadapannya. Ia menyodorkan uang pecahan sepuluh ribu. Sekilas selembar uang kertas dihadapannya berpindah tempat. Satu kartu berwarna putih, selembar struk pembayaran, dan kembalian sebesar dua ribu lima ratus
rupiah disodorkan padanya.
"Terima kasih!"
Ia berjalan menuju portal masuk. Meletakkan kartu pada salah satu
mesin. Beberapa petugas satpam dan tentara tampak santai memantau
keadaan sekitar.
“Tettt ….” mesin itu mengeluarkan bunyi diiringi portal yang terbuka. Ia melangkah terburu-buru menuju peron.
Ia masuk gerbong terdekat, lalu menunggu selama lima
belas menit hingga pintu menutup. Lalu KRL itu meluncur dengan tenangnya. Stasiun itu merupakan stasiun keberangkatan pertama, namun seluruh gerbong sudah disesaki penumpang.
Handphone-nya berbunyi. Andy menelepon.
“Halo!” sapanya. Ia menyelipkan buku yang
sedang ia baca pada ketiaknya.
“Halo! Sudah dimana?”
“Jatinegara. Kau?”
“Ini mau berangkat. Baiklah. Sampai jumpa
disana, oke!” jawab Andy terburu-buru.
“Oke.” Sambungan terputus.
Kereta yang melaju perlahan-lahan. KRL sudah tiba di Stasiun Manggarai. Ia harus transit disitu. Pintu terbuka. Ia turun lalu
berjalan ke peron seberang mengambil rute arah Depok.
Ia hanya berdiri termangu. Setengah jam kemudian kereta tujuan Depok akhirnya mendekat.
Perjalanan
kali ini cukup lancar. Ia sudah menginjakkan kakinya di Stasiun Tebet ketika jam dinding
yang menggantung di peron stasiun menunjukkan pukul 08.43. Ia tiba lebih cepat dari
biasanya.
Ia berdiri tegak dan menebarkan pandangan di
sekeliling peron.
“Tak ada,” gumannya.
Ia yakin Andy pasti datang
terlambat. Sambil menunggu kedatangannya, ia melanjutkan bacaannya, yang
terhenti sejenak ketika ia keluar dari gerbong kereta. “The Devil and Miss Prym, karya Paulo Coelho”.
Novel itu mengisahkan tentang seorang laki-laki asing yang memutuskan untuk tinggal di sebuah desa terpencil
di Amerika Selatan bernama Viscos. Laki-laki itu datang kesana dengan tujuan mencari
jawaban atas pergumulan hidupnya. Ia ingin tahu, apakah pada hakikatnya manusia itu baik
atau jahat. Ia memutuskan melakukan perjalanan itu setelah istri dan anak-anaknya dibunuh oleh teroris
dengan menggunakan senjata yang ironisnya diproduksi oleh perusahaan yang dipimpinnya sendiri. Ia merasa tak pantas menerima kenyataan itu. Lantas, ia sangat kecewa atas
kehilangan orang yang paling ia cintai. Kekecewaannya semakin dalam lantaran is selalu bersikap baik. Ia selalu taat hukum, menjalankan bisnisnya sesuai
regulasi yang berlaku. Ia merupakan jemaat yang rajin beribadah ke gereja dan jemaat yang selalu perintah-perintah Tuhan.
Pukul 10.00 pagi itu, KRL tujuan Bogor berhenti
sesaat untuk menurunkan dan menaikkan penumpang, lalu melaju lagi. Lagi, Thamrin
menebarkan pandangannya ke peron seberang, mencari-cari sosok Andy.
“Itu dia.”
Tampak Andy sedang duduk disebelah Oloando
yang duduk tenangnya. Tangannya melakukan steepling di pangkuannya. Sementara Andy
memandang ke sekelilingnya, sepertinya ia sedang mencari Thamrin. Tak berselang
lama, pandangan mereka bertemu, lantas saling mengumbar senyum.
“Beb!”
panggilnya.
Thamrin melambaikan tangan lalu berjalan
menyeberangi peron menuju tempat duduk mereka berdua.
Mereka bersalaman satu sama lain disertai
senyum bersahabat.
“Sari buah Carcinia
mangostana. Mau?” Ia menyodorkan minuman botol kemasan yang digenggamnya.
Andy
mengernyit dengan bahu terangkat, bibirnya juga mengembang kedepan. Ia tak tertarik sama sekali.
Thamrin beralih pada Oloando. “Lae?”
“Boleh.” Oloando meraihnya.
Tak sampai lima belas menit, KRL tujuan Bogor
telah tiba.
“Naik, tidak?” tanya Thamrin.
“Naiklah!” sahut Oloando. Ia berdiri pun menunggu
pintu terbuka.
“Kereta yang lain saja,” sahut Andy. Ia masih
duduk bersandar pada kursi yang persisi di samping tiang penyangga bangunan peron.
Mendengarnya, Thamrin dan Oloando kelimpungan.
Mereka berdua jadi ragu-ragu menaiki kereta yang sudah hendak membukakan pintu.
“Terlambat kau nanti,” Thamrin berseru mengingatkan,
“Bagaimana? Naik tidak?” ia jengkel. Ia waswas karena pintu hanya terbuka
sesaat, apalagi jika penumpang yang naik dan turun cuma sedikit.
Pintu pun terbuka. Penumpang turun dan naik. “Memang
ada-ada saja kawan ini, bah. Naik saja kita, Lae! Biarkan saja kalau dia tidak
mau naik. Yang mau ujian itu dia, bukan kita. Nanti dia juga yang repot,” Oloando menyindir Andy.
“Oke!”
Keputusan mereke berdua bulat. Mereka Thamrin
dan Oloando naik. Melihat mereka berdua di dalam kereta, sekonyong-konyong Andy
bergegas naik. Ia berjalan menuju tempat duduk mereka berdua. Perjalanan pun berlanjut menuju Stasiun
Universitas Indonesia, Depok.
“Bikin kesal aja kerjaanmu, Pra.”
“Sori dulu, Pra. Padat kali tadi kutengok
penumpangnya.”
“Inilah kan, Lae. Sudah tahu mau ujian, tetap
saja kawan kita ini milih-milih.” Oloando mencemooh.
“Sabar-sabar sajalah, Lae. Kawan pula yang
kita hadapi.”
Begitulah masalah mereka jika melakukan
perjalanan dengan KRL, seringkali mereka tiba-tiba bodoh. Dan biang keladinya adalah Andy dengan
kebiasannya yang suka memilih-milih. Terlalu pemilih jika penumpangnya lagi
ramai. Tak tahu diuntung.
Setibanya di stasiun Universitas Indonesia,
mereka istirahat sesaat. Sempat-sempatnya Andy berceloteh dengan tukang
gorengan langganannya. Mulutnya tak bisa diam mencicipi tahu-isi kesukaannya.
“Makan gorengan dulu kita.” pintanya pada
mereka berdua, seraya menunjuk berbagai jenis gorengan di depannya.
“Enak, Pra … Sini!” bujuknya.
Mereka berdua mendekat patuh pula, lalu meraih
gorengan yang baru dimasak.
Mereka bertiga asyik menguyah sambil memandangi
anak kampus yang duduk di halte. Sesekali mereka melirik wanita yang menarik
perhatian, disusul bisikan-bisikan pada telinga yang sedang dalam posisi siaga.
Andy mengunyah dengan lahapnya. Seperti sedang
kelaparan saja. Padahal matanya sedang celangak-celinguk kesana-kemarin. Ia
terbius kecantikan-kecantikan di depannya. Tanpa terasa tujuh gorengan sudah
hanyut di mulutnya. Ia kenyang.
“Masih nambah tidak, Pra?”
Oloando menggelelengkan kepalanya.
“Kau, Beb?”
“Tidak.”
Ia beralih pada penjual goreng. “Berapa
semuanya, Pak?”
“Lima belas ribu!”
“Aquanya tiga, ya!”
“Jadi dua puluh tujuh!”
“Ini, Pak! Terimakasih!”
Ia meraih
rokok dari saku disusul api kecil koreknya.
“Shhh … hssss ….” Terpancar semangat dari
hembusannya. Asap rokok yang masuk ke paru-paru sedikit mengurangi ketegangan
yang dirasakannya.
“Ayo!” ia memberi komando pada kedua temannya untuk
melanjutkan perjalanan. Kemudian, mereka berjalan kaki menyusuri jalanan yang
tampak sepi dibanding hari biasa. Deretan pohon menjulang tinggi di kedua sisi
jalan. Mereka berusaha melindungi setiap pejalan kaki yang melintas dengan
tabahnya.
Panasnya terik matahari membuat mereka merasa gerah.
Sesekali terdengar suara menggerutu dari belakang. Andy memilih bungkam. Beruntung,
ada-ada saja wanita cantik melintas di depan mereka di antara gerombolan-gerombolan
orang yang sedang lari pagi.
Sesekali mereka menunjuk wanita cantik yang
mampu menarik perhatian mereka. Sontak saja wajah-wajah itu berhasil mengubah
wajah muram durja mereka menjadi ceria. Beban perjalanan yang dirasakan mereka
pun terasa berkurang.
“Ehem … ehem … suit … suit …,” goda mereka, disusul
siulan nyaring pada wanita berambut panjang yang datang dari arah berlawanan.
Wanita itu tak menggubris mereka. Ia hanya
mengelap keringat di wajahnya dengan handuk kecilnya yang berwarna pink. Namun, Oloando mendapatinya kedua
bola matanya melirik ke arah mereka bertiga.
“Mata kami bertemu, Lae!” katanya
berseri-seri.
“Ah … perasaan kali kau, Lae.”
“Serius, Lae!”
“Hahaha … Boleh sok ganteng, Pra! Tapi jangan
sok dilirik.” Andy menyeringai.
“Gitu kali kau, Pra.”
“Lagian kau, Pra. Tidak ada angin, atau pun
hujan, bisa kegeeran gitu.”
“Serius aku, Pra.”
“Ga percaya awak, Pra.”
“Oh. Gitu ya?” Oloando mengernyit dan memasang
muka masam.
“Iya… iya…, Pra. Ganteng pun kau, Pra.”
Oloando menegakkan kepalanya tetap sementara mukanya
masih terlihat masam. Bolak-balik Andy merayu membujuknya. Ia malah membuang
muka. Thamrin hanya bisa menahan tawa melihat rayuan bertubi-tubi Andy yang
mental pada Oloando.
Dua puluh menit kemudian, Gedung Fakultas Teknik
muncul di hadapan mereka.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar