Indonesia
menganut sistem peradilan pidana terpadu atau terintegrasi. Yang dimaksud
dengan sistem peradilan pidana terpadu ialah sistem peradilan yang tiap
masing-masing subsistem saling berkesinambungan dan terkait satu sama lain di
dalam tugas serta kewenangannya dalam proses peradilan pidana di Indonesia.
Sistem
peradilan pidana di Indonesia identik dengan sistem penegakan hukum pidana yang
masuk ke dalam sistem kekuasaan dan kewenangan menegakan hukum. Sistem peradilan
pidana berada di dalam kekuasaan kehakiman yang implementasi nya terwujud dalam
4 (empat) sub sistem, adalah:
1. Kekuasaan
penyidikan oleh lembaga penyidik
2. Kekuasaan
penuntutan oleh lembaga penuntut umum
3. Kekuasaan
mengadili/atau menjatuhkan putusan oleh badan peradilan
4. Kekuasaan
pelaksanaan putusan hakim oleh aparat pelaksana eksekusi, adalah jaksa penuntut
umum.
Berikut
adalah Sistem Peradilan Pidana Terpadu atau Terintegrasi menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu:
Tabel
1
Sistem
Peradilan Pidana Indonesia
Kepolisian →→→ Kejaksaan →→→ Pengadilan
→→→ Lembaga Pemasyarakatan
↑ ↑ ↑
↑ ↑
← ← ← ← → → → → → Advokad ← ← ← ←→ → →↑
↑ ↑
Masyarakat (Laporan, Aduan) ←←←→→→→ ↑
Keterangan:
- Kepolisian
sebagai penyelidik dan penyidik pada perkara yang disangkakan sebagai tindak
atau perbuatan pidana. Wewenang dan tugasnya diatur di pasal 4-49 KUHAP.
- Kejaksaan
sebagai penuntut umum menerima berkas acara pemeriksaan, bukti-bukti dan
tersangka. Pihak kejaksaan inilah yang akan membuat surat dakwaan terhadap
tersangka sehingga status daripada tersangka berubah menjadi terdakwa dengan
istilah tahanan kejaksaan bukan lagi tahanan kepolisian.(Keterangan: jika
terdakwa sebelumnya ditahan pada tingkat penyidikan.) Kewenangan kejaksaan
diatur di dalam pasal 4-49 KUHAP.
- Setelah
berkas pemeriksaan dan telah dibuatnya surat dakwaan terhadap terdakwa tersebut
beserta kemudian dilimpahkan ke pengadilan yang berkompeten mengadili. (Keterangan
dimulai dari pengadilan tingkat pertama atau Pengadilan Negeri.)
- Setelah
mendapat putusan yang in kracht (tetap
dan pasti) yang tiada upaya hukum yang diajukan oleh pihak yang berperkara, jika
putusan yang dijatuhkan adalah putusan pemidanaan maka Jaksa Penuntut Umum
sesuai dengan pasal 270 KUHAP akan melakukan eksekusi terhadap putusan itu
dengan memasukan terpidana ke dalam Lembaga Pemasyarakatan.
- Setelah
masa hukuman tahanan selesai, maka terpidana kembali ke masyarakat.
- Pada
saat mulainya sistem peradilan pidana, baik tersangka/terdakwa maupun korban
dapat menggunakan penasehat hukum atau advokat. Ketentuan tersangka/terdakwa
dalam menggunakan penasehat hukum diatur dalam pasal 69-74 KUHAP.
2. Proses Penanganan Tindak Pidana Korupsi
Badan
peradilan terdiri dari 4 (empat) lingkungan peradilan yaitu peradilan umum,
peradilan militer, peradilan agama dan peradilan tata usaha negara. Tindak
pidana korupsi diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) yang masuk
ke dalam lingkungan peradilan umum. Tindak pidana korupsi merupakan perbuatan
atau tindak pidana khusus yang ketentuannya diatur di luar Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP). Ketentuannya mula-mula diatur di dalam Undang-Undang No 24
Prp. Tahun 1960 tentang Pengusutan,
Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana karena tidak sesuai dengan
perkembangan kebutuhan masyarakat pada saat itu kemudian diganti dengan
Undang-Undang No.3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dan kemudian pada tahun 1999 ketentuan tersebut
diganti dengan Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan pada akhirnya diperbaharui
dengan dilahirkannya Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.31 Tahun
1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Proses
penanganan dalam tindak pidana korupsi sama dengan ketentuan hukum acara yang
berlaku dalam KUHAP. Penyidik tetap menjadi kewenangan Kepolisian dan penuntut umum tetap menjadi kewenangan
Kejaksaan, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang mengenai pemberantasan
korupsi, ialah Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun
2001.
Pasal
27 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 mengatur ketentuan bahwa untuk tindak pidana
korupsi yang sulit pembuktiannya, maka dapat dibentuk tim gabungan di bawah
koordinasi Jaksa Agung. Selain mengkoordinasikan, Jaksa Agung juga mengendalikan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan
bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan umum dan peradilan militer.
Di
bidang pidana, kejaksaan selain sebagai penuntut umum dan pelaksana eksekusi
putusan hakim juga dapat
bertindak sebagai penyidik dalam tindak pidana tertentu berdasarkan
undang-undang,contoh
pasal 26 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 mengatur bahwa jaksa dapat
mengendalikan penyidikan dalam hal ini, jaksa dalam tindak pidana korupsi
dapat melakukan penyidikan.
Hal
ini bertentangan dengan ketentuan acaranya, jaksa penuntut umum dalam KUHAP
hanya sebagai penuntut umum. Pertama kali pertentangan timbul dari pasal 284
ayat (2) KUHAP, bahwa ada pengecualian untuk sementara mengenai “ketentuan
khusus”acara pidana. Kemudian dalam pasal 17 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun
1983 tentang pelaksanaan KUHAP lebih memperjelas pertentangan wewenang sebagai
penyidik dalam tindak pidana khusus terutama tindak pidana korupsi bahwa
wewenang menyidik ada di tangan penyidik jaksa dan pejabat penyidik yang
berwenang lainnya.
Adanya
pertentangan ini mempengaruhi kinerja Kepolisian dan Kejaksaan dalam memproses
tindak pidana korupsi sebelum dibentuknya maupun setelah KPK terbentuk.
Proses
penanganan tindak pidana korupsi oleh Kepolisian dan Kejaksaan sebelum KPK
dibentuk:
-
Penyelidikan dilakukan oleh pihak Kepolisian,
sedangkan penyidikan dilakukan bersama-sama oleh pihak Kepolisian dan
Kejaksaan, dan untuk selanjutnya akan dilimpahkan kepada Pengadilan.
-
Penanganan tindak
pidana korupsi total diberikan kewenangannya kepada Kepolisian dan Kejaksaan
untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.
- Penanganan
tindak pidana korupsi oleh pihak Kepolisian dan Kejaksaan pada periode sebelum
KPK terbentuk belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas
tindak pidana korupsi. Karena itulah, KPK perlu dibentuk dan pada tahun 2002
dengan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 KPK terbentuk. KPK bersifat independen
namun ad hoc, artinya KPK akan dibubarkan disaat Kepolisian dan Kejaksaan dapat
berfungsi efektif, baik dan efisien dalam memberantas korupsi.
Penanganan
tindak pidana korupsi oleh pihak
Kepolisian dan Kejaksaan setelah KPK dibentuk:
- Setelah
KPK dibentuk, penanganan perkara korupsi dibagi 2 (dua) kewenangannya.
Terdahulu hanya Kepolisian dan Kejaksaan, tapi sekarang KPK memiliki kewenangan
untuk menangani tindak pidana korupsi. Namun ada pengklasifikasian jenis tindak
pidana korupsi yang bagaimana ditangani pihak KPK.
- KPK
akan menangani tindak pidana korupsi bila menyangkut kerugian negara paling
sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Sedangkan tindak pidana korupsi di bawah
Rp.1.000.000.000,00 ( satu miliar rupiah) akan ditangani oleh pihak
kepolisian.
Referensi:
Tambunan
Ester, Dody Simanjuntak, Junius Parulian. 2009. Indeks Prestasi Kinerja Kepolisian dan Kejaksaan dalam Menangani
Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia